Jakarta (ANTARA) – Kelangkaan bahan bakar yang mempengaruhi stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) swasta pada akhir tahun 2025 hampir terselesaikan. Ini terjadi setelah Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memediasi negosiasi impor bahan bakar dasar antara para pengecer swasta dan perusahaan energi negara, Pertamina.
Kementerian mengatakan pada 7 November bahwa British Petroleum (BP), melalui usaha patungan lokalnya BP-AKR, telah memesan tambahan 100.000 barel bahan bakar dasar dari Pertamina. Pemesanan ini dilakukan setelah mereka mendapatkan volume yang sama pada akhir Oktober. Stasiun BP sejak itu telah kembali menjual bahan bakar RON 92.
Negosiasi antara Pertamina dan operator swasta Vivo juga dikatakan sudah mendekati akhir, menurut kementerian.
Perkembangan ini menyusul keputusan Menteri ESDM Bahlil Lahadalia untuk tidak memberikan tambahan kuota impor lebih lanjut tahun ini. Tambahan yang sudah diberikan kepada importir bahan bakar swasta sebelumnya adalah sebesar 10 persen.
Pada bulan September, menteri memindahkan alokasi 571.748 kiloliter dari sisa alokasi impor Pertamina yang berjumlah 7,52 juta kiloliter ke para pengecer swasta. Tujuannya adalah untuk menjaga persediaan mereka hingga Desember 2025.
Dia menegaskan bahwa kementerian harus memastikan ketersediaan energi dalam negeri sambil menjaga neraca perdagangan Indonesia. Dia mencatat bahwa impor bahan bakar masih lebih tinggi daripada produksi nasional.
Pada tahun 2024, Indonesia mengimpor 330 juta barel minyak, yang terdiri dari 128 juta barel minyak mentah dan 202 juta barel produk olahan. Sementara itu, produksi domestik hanya mencapai 212 juta barel.
Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian ESDM, Laode Sulaiman, menyatakan bahwa pemerintah sedang mempertimbangkan kenaikan kuota impor sebesar 10 persen untuk perusahaan swasta di tahun depan. Meskipun begitu, alokasi untuk tahun 2026 sendiri sebenarnya belum final.
Meningkatkan Produksi Minyak, Mengembangkan Energi Bersih
Indonesia sedang berupaya meningkatkan produksi nasional dan mengembangkan sumber energi bersih untuk mengurangi ketergantungan pada impor bahan bakar. Pemerintah telah menawarkan 75 blok minyak dan gas bumi di bawah skema gross split yang direvisi dan meluncurkan kebijakan campuran etanol 10 persen (E10).
Hingga bulan September, produksi minyak nasional mencapai 619.000 barel per hari. Angka ini melebihi target yang ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2024, yaitu 605.000 barel per hari. Pencapaian ini merupakan yang pertama kalinya sejak tahun 2008.
Namun, Indonesia masih sangat bergantung pada impor bensin. Tahun lalu, impor bensin mencapai 22,8 juta kiloliter, atau setara dengan 62,23 persen dari total pasokan. Tahun ini, pasokan diproyeksikan sebesar 37,3 juta kiloliter, dengan impor menyumbang 63 persen.
Diperkirakan pada tahun 2030, permintaan bensin akan mencapai 42,1 juta kiloliter. Tanpa intervensi kebijakan yang signifikan, impor berpotensi naik menjadi 27,81 juta kiloliter, atau 66,10 persen dari total pasokan.
Untuk mengatasi masalah ini, kementerian sedang menyiapkan peta jalan implementasi E10. Langkah ini diambil dengan belajar dari kesuksesan Indonesia dalam mengurangi impor solar melalui program biodiesel B40, yang telah menghemat USD 40,71 miliar antara tahun 2020 dan 2025.
Indonesia juga telah menandatangani nota kesepahaman dengan Brasil untuk memperluas kerja sama energi terbarukan dan belajar dari program pencampuran etanol Brasil yang telah berjalan lama.
Memperkuat Kapasitas Etanol Domestik
Indonesia akan membutuhkan setidaknya 1,4 juta kiloliter etanol untuk menerapkan E10 secara nasional pada tahun 2027. Lahadalia mengatakan pemerintah berencana memenuhi kebutuhan ini secara domestik dengan mengembangkan pabrik etanol yang menggunakan bahan baku singkong, jagung, dan tebu.
Sebuah fasilitas produksi etanol berbasis tebu direncanakan akan dibangun di Merauke, Papua Selatan. Pemerintah telah mengidentifikasi 920.000 hektar lahan potensial yang tersebar di 18 provinsi. Ini merupakan bagian dari target satu juta hektar lahan untuk bahan baku etanol.
Untuk menarik investasi, insentif seperti tax holiday akan ditawarkan kepada perusahaan yang membangun pabrik etanol di Indonesia.
Kekhawatiran masyarakat sempat muncul mengenai sifat etanol yang higroskopis, atau mudah menyerap air. Profesor Ronny Purwadi dari Institut Teknologi Bandung (ITB) menjelaskan bahwa kemampuan etanol menyerap air tidak secara otomatis menyebabkan korosi, terutama pada logam yang dilapisi (coated) atau peralatan yang dijaga tetap kering.
Dia mengatakan bahwa E10 dapat membantu menurunkan kadar belerang dalam pasokan bahan bakar Indonesia, yang saat ini rata-rata 1.500 bagian per juta (ppm). Angka ini jauh lebih tinggi dari standar Euro V, yaitu 50 ppm. Pencampuran etanol juga mengurangi emisi karena tidak menghasilkan residu karbon padat.
Kementerian akan berkoordinasi dengan produsen kendaraan bermotor untuk menguji E10 di iklim tropis Indonesia. Kendaraan yang dirilis setelah tahun 2000 umumnya sudah kompatibel dengan campuran etanol 10 persen.
Lahadalia menyatakan bahwa upaya mengelola impor bahan bakar, memperkuat produksi nasional, dan mengembangkan energi bersih mencerminkan komitmen pemerintah terhadap kemandirian energi, sesuai dengan mandat dari Presiden Prabowo Subianto.
Berita terkait: Indonesia maps out 920,000 ha of land for ethanol production push
Berita terkait: BP orders another 100,000 barrels from Pertamina to ease shortages
Penerjemah: Putu Indah, Tegar Nurfitra
Editor: Anton Santoso
Hak Cipta © ANTARA 2025