loading…
Rehabilitasi pascabencana banjir bandang di Sumatera tidak boleh dilakukan secara tergesa-gesa tanpa membenahi akar persoalan di wilayah hulu. Foto/Dok. SindoNews
JAKARTA – Proses rehabilitasi setelah bencana banjir bandang di Sumatera tidak boleh dilakukan dengan terburu-buru. Hal ini harus dimulai dari perbaikan masalah mendasar di kawasan hulu. Jika kondisi ekologi pasca banjir tidak dipahami, justru bisa menyebabkan bencana yang sama terulang lagi.
Direktur Eksekutif Indonesia Maritime Institute (IMI), Y Paonganan (Ongen) menjelaskan, hujan ekstrem akibat badai siklon selama beberapa hari telah menghanyutkan semua vegetasi yang ada di daerah pegunungan. Situasi ini makin parah karena adanya deforestasi besar-besaran yang sudah lama terjadi. Akibatnya, pohon-pohon yang biasanya menahan air juga ikut terbawa banjir. Baca juga: Korban Bencana Sumatera Tembus 1.138 Orang Tewas, 163 Masih Hilang
“Daerah yang kena banjir sekarang jadi sangat terbuka dan kehilangan sistem penahan air alaminya. Dalam kondisi seperti ini, hujan dengan intensitas rendah saja sudah berpotensi menyebabkan banjir bandang lagi,” kata Ongen dalam pernyataannya, Sabtu (27/12/2025).
Dia mengingatkan, proses membangun kembali infrastruktur dan pemukiman akan sangat beresiko kalau tidak dibarengi dengan perbaikan total di daerah yang terkena banjir, terutama di wilayah hulu. Untuk mencegah bencana terulang, Ongen mengusulkan empat langkah utama dalam proses rehabilitasi.
Pertama, pemerintah perlu cepat mengadopsi teknologi penahan air sementara di daerah hulu yang sudah gundul. Teknologi ini bisa berupa “pohon-pohon buatan”, turap, atau tanggul yang dirancang secara ilmiah untuk menahan dan mengalirkan air ke satu jalur sungai utama menuju hilir.