Pemberantasan Narkoba: Beralih dari Penjara ke Rehabilitasi

Jakarta (ANTARA) – Indonesia merevisi Kode Pidana (KUHP) pada tahun 2023, mengesahkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023, yang akan mulai berlaku pada bulan Januari tahun depan, untuk mengatasi masalah kelebihan kapasitas fasilitas pemasyarakatan, di antara isu-isu lainnya.

Pada bulan April 2024, 532 penjara dan pusat tahanan di negara ini menampung 271.385 narapidana, meskipun hanya memiliki kapasitas untuk 140.424 individu. Hal ini berarti fasilitas-fasilitas ini sangat padat, dengan sekitar dua kali lipat orang daripada yang bisa mereka tangani.

Dari semua orang di penjara dan tahanan, lebih dari separuh—135.823 individu—terkait dengan kasus kejahatan yang melibatkan penyalahgunaan narkoba atau perdagangan narkoba.

KUHP baru diharapkan membawa pendekatan baru dalam menangani masalah ini, karena peraturan ini menekankan keadilan restoratif sebagai respons utama terhadap kejahatan, termasuk yang terkait dengan narkoba.

Saat hukum ini diberlakukan sepenuhnya, Indonesia dapat mengharapkan lebih banyak pecandu narkoba menerima perawatan yang mereka butuhkan di pusat rehabilitasi, daripada berakhir di balik jeruji sebagai hukuman.

Di samping KUHP, pemerintah berencana memberikan amnesti kepada sekitar 44 ribu narapidana, termasuk pecandu narkoba, sebagai bagian dari upaya untuk mengatasi kelebihan kapasitas.

Meskipun fokus pada keadilan restoratif untuk pecandu narkoba dapat membantu mengurangi kepadatan di penjara, hal ini juga membawa risiko tertentu—terutama potensi kelebihan kapasitas di pusat rehabilitasi, mengingat kekurangan fasilitas semacam itu di Indonesia.

Sebuah studi yang dilakukan oleh Sulistiandriatmoko, seorang ahli hukum narkoba, mengungkapkan bahwa beberapa penyidik polisi lebih suka memenjarakan pengguna narkoba dan menuntut mereka dengan tuduhan pidana karena kurangnya fasilitas rehabilitasi di wilayah mereka.

Kecondongan ini berasal dari kenyataan bahwa memindahkan pecandu narkoba ke pusat rehabilitasi di luar kota seringkali memerlukan polisi untuk mengeluarkan dana tambahan, biaya yang mungkin tidak dapat ditutupi oleh anggaran mereka.

MEMBACA  Pertandingan Sepak Bola Liga Konferensi UEFA: Siaran Langsung Heidenheim vs. Chelsea Dari Mana Saja

Dengan demikian, pemerintah harus memberikan prioritas pada pembangunan pusat rehabilitasi di setiap provinsi—dan idealnya di setiap kabupaten dan kota—untuk mengatasi masalah ini secara lebih efektif dan mengurangi kepadatan.

Upaya semacam ini dapat lebih diperkuat dengan melihat kenyataan bahwa banyak dari mereka yang terlibat dalam kasus penyalahgunaan narkoba adalah pelaku berulang yang kesulitan mengatasi kecanduan mereka.

Individu-individu ini cenderung kembali tergoda oleh narkoba tidak lama setelah menjalani hukuman mereka.

Mengingat tren ini, dapat disimpulkan bahwa memenjarakan pecandu narkoba bukan cara yang efisien untuk melawan penyalahgunaan narkoba di antara warga.

Badan Narkotika Nasional (BNN) saat ini mengoperasikan 216 fasilitas rehabilitasi di seluruh Indonesia, dengan 12.204 pecandu narkoba telah menerima perawatan. Selain itu, BNN telah bermitra dengan 649 fasilitas lain yang dijalankan oleh berbagai organisasi.

Namun, angka ini jelas jauh lebih kecil dibandingkan dengan 3,3 juta pengguna narkoba yang terdeteksi di Indonesia, yang merupakan sekitar 1,73 persen dari populasi negara tersebut. Sebagian besar individu ini adalah pecandu.

Mengakui ironi ini, Kepala Kepolisian Nasional (Polri) Jenderal Listyo Sigit Prabowo mendorong semua pemangku kepentingan, termasuk pemerintah daerah, untuk mendirikan lebih banyak pusat rehabilitasi untuk menyelamatkan pengguna narkoba.

Beliau menyatakan bahwa pemerintah daerah tersebut dapat mencari dukungan dari Polri atau Tentara Nasional Indonesia (TNI) untuk mendirikan fasilitas semacam itu dan bermitra dengan lembaga pendidikan, termasuk pesantren, untuk membantu pecandu memperoleh kembali spiritualitas mereka.

Berita terkait: BNN memimpin dalam memperkuat upaya pencegahan dan pemberantasan narkoba

Mengubah sistem rehabilitasi

Membangun sistem rehabilitasi narkoba nasional yang handal adalah langkah yang tak terhindarkan bagi Indonesia untuk memutus siklus mematikan yang melibatkan lebih dari tiga juta warga dan membantu generasi muda membentuk masa depan cerah tanpa bahaya kecanduan.

MEMBACA  Para CEO Fortune 500 ini naik dari level entry ke kantor pusat di perusahaan mereka

Inisiatif ini harus dibangun atas upaya yang bertujuan untuk mengatasi beberapa masalah yang umum, seperti dana yang tidak memadai untuk layanan rehabilitasi dan kenyataan bahwa banyak pecandu narkoba tidak terdaftar di asuransi kesehatan negara BPJS Kesehatan.

Sistem rehabilitasi Indonesia juga terhambat oleh rendahnya kesadaran pecandu dan keluarga mereka tentang pentingnya berkomunikasi dengan otoritas untuk menerima perawatan yang diperlukan.

Sama pentingnya, pemerintah harus memastikan bahwa pusat rehabilitasi menyediakan layanan berkualitas untuk mendukung pecandu dalam mengatasi kecanduan, karena layanan yang kurang baik dapat membuat pecandu meninggalkan fasilitas tersebut.

Untuk meningkatkan sistem rehabilitasi, Indonesia dapat mengambil setidaknya tiga langkah efektif, termasuk meningkatkan infrastruktur dan staf di pusat rehabilitasi.

Peningkatan ini diharapkan dapat memperbaiki layanan rawat jalan dan inap.

Kepala BNN Marthinus Hukom telah berbagi pemikirannya tentang hal ini, menyoroti pentingnya keterlibatan masyarakat.

Beliau mendorong orang untuk berkontribusi pada upaya rehabilitasi melalui program Intervensi Berbasis Masyarakat (IBM), yang bertujuan untuk memperluas akses ke layanan rehabilitasi. Pada tahun 2024, sekitar 418 unit IBM telah didirikan, dengan melibatkan 2.217 agen rehabilitasi.

Langkah kedua yang dianggap perlu adalah mengoptimalkan peran Tim Asesmen Terintegrasi (TAT) yang terdiri dari Kementerian Kesehatan, Kementerian Hukum, Polri, BNN, dan jaksa.

Semua pihak yang tergabung dalam tim ini harus membangun kapasitas mereka dan memiliki pemahaman yang sama tentang pentingnya memprioritaskan restorasi keadilan melalui upaya rehabilitasi daripada tindakan pidana terhadap pengguna narkoba.

Adapun langkah ketiga, Indonesia perlu mengeluarkan dan melaksanakan lebih banyak peraturan yang mendukung rehabilitasi pengguna narkoba, melengkapi Undang-Undang KUHP baru yang akan segera berlaku.

Instruksi Presiden tahun 2020 mengenai Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Penyalahgunaan Narkoba dan Peredaran Narkoba, misalnya, menetapkan bahwa peningkatan kualitas dan aksesibilitas layanan rehabilitasi sangat penting untuk memerangi kejahatan terkait narkoba.

MEMBACA  Cuaca Buruk, Kapal Tongkang dan Tugboat Tenggelam di Pantai Ende, Batubara Tumpah ke Laut

Hal ini menunjukkan pengakuan negara terhadap manfaat yang ditawarkan jalur rehabilitasi.

Dua tujuan harus dicapai untuk menyatakan keberhasilan peningkatan layanan rehabilitasi di seluruh negeri: kepatuhan penuh terhadap Standar Nasional Rehabilitasi Sosial Pengguna Narkoba dan integrasi sistem informasi rehabilitasi.

Bekerja menuju standar nasional, BNN pada tahun 2024 meningkatkan kapasitas petugas rehabilitasi, dengan 106 di antaranya menerima sertifikat kompetensi.

Selama periode 2020-2024, lembaga anti-narkoba tersebut memimpin total 367 fasilitas rehabilitasi untuk memenuhi standar nasional.

Dengan asumsi bahwa semua langkah yang diperlukan berhasil diambil, Indonesia pasti dapat mengharapkan menyelamatkan lebih banyak warganya dari penyalahgunaan narkoba melalui sistem rehabilitasi yang handal, berkualitas.

Sangat penting bagi otoritas Indonesia dan masyarakat bersatu, berbagi pandangan optimis bahwa memilih jalur rehabilitasi untuk pengguna narkoba akan memiliki dampak positif yang jauh lebih luas.

Memprioritaskan rehabilitasi daripada tindakan pidana tidak hanya membantu pecandu narkoba mendapatkan kembali martabat mereka tetapi juga meringankan pemerintah dari beban mengelola penjara yang overpopulasi dan berurusan dengan pelaku kejahatan berulang.

Berita terkait: Prabowo prioritaskan pemberantasan narkoba sebagai program pemerintah: BNN

Penerjemah: Agatha O, Tegar Nurfitra
Editor: Bayu Prasetyo
Hak cipta © ANTARA 2025