Para Akademisi Mengkritik Perhitungan Kerugian Negara dalam Kasus Impor Gula oleh Tom Lembong

Rabu, 25 Juni 2025 – 23:22 WIB

Jakarta, VIVA – Perhitungan kerugian negara yang dilakukan BPKP dalam kasus impor gula yang melibatkan Thomas Trikasih Lembong kembali dapat kritik pedas.

Laporan BPKP menyebut negara rugi karena beda tarif impor dan harga beli gula di atas Harga Pokok Petani (HPP). Tapi, pendekatan ini dianggap salah dan menyesatkan secar ekonomi.

Baca Juga:
Digempur Iran 12 Hari, Ekonomi Israel Rugi Puluhan Triliun

Tom Lembong
Foto: VIVA.co.id/Fajar Ramadhan

Baca Juga:
Proyeksi Ekonomi RI Tumbuh 5,3% di 2026, Banggar: Musuh Kita Ketidakpastian

Menurut BPKP, negara seharusnya dapat pendapatan lebih besar jika impor Gula Kristal Putih (GKP), bukan Gula Kristal Mentah (GKM) seperti saat ini. Kerugian muncul karena tarif GKP lebih tinggi, jadi selisih dianggap rugi negara.

Tapi, Vid Adrison, dosen FEB UI dan peneliti LPEM FEB UI, bilang pendekatan ini salah dan bertentangan dengan logika ekonomi.

Baca Juga:
Anies Baswedan Ungkap Alasan Hadir di Sidang Kasus Korupsi Tom Lembong

Ia bilang tak ada kerugian negara karena yang diimpor memang GKM, bukan GKP. Barang sudah keluar pelabuhan tanpa masalah dari Bea Cukai, dan tak ada sanksi untuk importir.

Menurutnya, cuma dua hal yang bisa bikin pendapatan negara berkurang: product misclassification dan under-invoicing, dan ini tidak terjadi di kasus impor gula Tom Lembong.

Metode BPKP yang bandingkan bea masuk GKM dengan yang "seharusnya" dari GKP sangat keliru. "Kalau ada pelanggaran, importir tinggal bayar kekurangan bea masuk sesuai UU. Tapi di kasus ini, tak ada pelanggaran. Klaim rugi negara tak berdasar," kata Vid.

Gula itu barang yang mudah dibedakan. Petugas bea cukai pasti bisa bedakan GKM dan GKP. Harganya juga transparan di pasar global. Tak mungkin salah klasifikasi besar-besaran tanpa ketahuan.

MEMBACA  Deloitte Ketahuan Gunakan AI dalam Laporan Senilai Rp4,5 Miliar untuk Bantu Pemerintah Australia Perketat Tunjangan Sosial Setelah Peneliti Temukan Halusinasi

Di sisi makroekonomi, Vid menyebut impor GKM untuk diolah jadi GKP justru bantu perekonomian nasional senilai Rp 901 miliar. Ini berlawanan dengan tudingan Kejagung yang bilang Indonesia "harusnya" impor GKP langsung.

"Kalau logika ini benar, semua pabrik harus ditutup. Buat apa produksi kalo impor barang jadi dianggap untung? Padahal, pengolahan bahan baku menciptakan nilai tambah, lapangan kerja, dan pajak," ujarnya.

Ia juga kritik cara Kejagung pahami HPP. HPP itu untuk lindungi petani, bukan batas harga jual produk akhir. Setelah tebu jadi gula, pabrik tambah biaya produksi, distribusi, dan margin keuntungan.

"Logikanya seperti UMR. Kalau UMR Rp 5 juta tapi perusahaan bayar Rp 6 juta, itu bukan pelanggaran. Justru bagus. Begitu juga dengan HPP. Harga jual di atas HPP itu wajar," jelasnya.

Vid bilang pendekatan kasus ini berbahaya buat iklim usaha dan ekonomi nasional. "Jika logika salah ini dipakai, semua industri pengolahan bisa dituduh rugikan negara hanya karena bikin nilai tambah. Ini berisiko," tegasnya.

Tom Lembong di Ruang Sidang
Foto: VIVA.co.id/Fajar Ramadhan

Ia bilang logika Kejagung tak berdasar. "Saya belum pernah lihat kasus absurd seperti ini. Ibaratnya kita bilang 2 x 2 = 4, mereka bilang 2 x 2 = 5," kata Vid.

Kesalahan hitung kerugian negara bisa berdampak sistemik. "Petani tak bisa jual panen, industri berhenti produksi, pekerja kehilangan kerja, harga gula naik. Jika pendekatan ini terus dipakai, bukan cuma satu orang yang kena, tapi seluruh ekonomi nasional," tutupnya.

Halaman Selanjutnya
Menurutnya, Hanya ada dua kejadian yang bisa menimbulkan kekurangan penerimaan negara dalam rangka impor: product misclassification dan under-invoicing, dan ini tidak terjadi dalam kegiatan impor gula Tom Lembong.