Papalele: Simbol Ketangguhan Perempuan, Kini Warisan Budaya Maluku

Ambon, Maluku (ANTARA) – Dengan sarung batik yang dipakai rapi di pinggang dan keranjang berisi makanan serta rempah di atas kepala, para perempuan ini berjalan menyusuri jalan desa dan jalanan kota.

Mereka dikenal sebagai papalele — sebuah simbol kemandirian ekonomi dan ketangguhan perempuan Maluku — yang kini secara resmi diakui sebagai Warisan Budaya Tak Benda Indonesia oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.

Di Kota Ambon, papalele adalah pemandangan yang biasa di pagi hari. Para perempuan ini menjual ikan segar, sayuran, hasil kebun, dan kue tradisional. Dengan berjalan kaki atau naik angkutan umum, mereka menghubungkan produsen di pedesaan dengan pembeli di perkotaan.

Tradisi papalele lebih dari sekadar perdagangan. Ini mencerminkan struktur sosial dan budaya masyarakat Maluku yang dilestarikan selama berabad-abad.

Di tengah perubahan modern dan maraknya transaksi digital, papalele terus bertahan — tidak hanya sebagai bagian dari ekonomi akar rumput tetapi juga sebagai pembawa identitas budaya.

Mengakui Sebuah Tradisi

Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Ambon, Christian Tukloy, mengatakan papalele kini dipandang bukan hanya sebagai pedagang informal, tetapi sebagai tokoh budaya yang mewujudkan filosofi hidup orang Maluku.

"Papalele melambangkan kemandirian perempuan Maluku. Mereka bukan cuma pedagang, tapi juga agen budaya dan ekonomi untuk keluarga mereka," ujarnya.

Ia menjelaskan bahwa Pemerintah Kota Ambon mengusulkan papalele untuk mendapatkan pengakuan warisan budaya guna melestarikan nilai-nilai kerja keras, solidaritas, dan tanggung jawab sosial mereka.

"Kami ingin mereka terus ada sambil juga bisa menyesuaikan diri dengan zaman modern," tambahnya.

Kisah Sientje

Salah satu papalele yang masih aktif kini adalah Sientje (52), warga Desa Hative Besar, yang telah berjualan hasil bumi sejak usia 20 tahun. Setiap pagi, dia menawarkan pisang, keladi, dan sayuran di beberapa wilayah di Ambon.

MEMBACA  7 Tips Penting saat Membeli Mobil di GIIAS 2024

Meskipun semakin banyak orang berbelanja di pasar modern atau secara online, dia masih memiliki pelanggan setia. Banyak pembeli muda bahkan lebih memilih membeli dari papalele untuk mendukung budaya lokal.

"Sekarang banyak anak muda bilang mereka ingin mendukung perempuan papalele. Saya senang karena artinya budaya ini masih hidup," katanya.

Lebih dari 500 papalele aktif saat ini beroperasi di Pasar Mardika, Kota Ambon. Sebagian besar menjual ikan dan hasil kebun, sementara yang lain kini menawarkan kue tradisional seperti bagea (berbasis sagu), suami (kue singkong parut), dan sagu lempeng untuk para wisatawan.

Lebih dari Sekadar Dagang

Dalam kehidupan sehari-hari, papalele bukan hanya penopang ekonomi bagi keluarga mereka tetapi juga simbol solidaritas dan kekuatan perempuan.

Sistem mereka membentuk mikroekonomi yang dibangun atas dasar kepercayaan — di mana transaksi tidak hanya melibatkan barang, tetapi juga kejujuran dan rasa hormat timbal balik antara penjual dan pembeli.

Nilai-nilai ini berfungsi sebagai bentuk pendidikan karakter yang sangat berakar dalam kehidupan Maluku, yang tak tergantikan oleh pendidikan formal.

Dulu merupakan kegiatan ekonomi akar rumput, papalele kini telah berkembang menjadi daya tarik wisata budaya. Kini, mereka tidak hanya menjual ikan, sagu, dan rempah-rempah, tetapi juga mendemonstrasikan ketekunan, kejujuran, dan solidaritas.

Pemerintah daerah dan pelaku pariwisata sedang mengembangkan papalele sebagai "atraksi hidup," yang menawarkan pengalaman autentik kepada pengunjung tentang pasar tradisional, rempah lokal, dan cerita-cerita perempuan Maluku — sebuah simbol kekuatan ekonomi dan ketahanan budaya.

Generasi Penerus

Salah satu papalele dari generasi muda adalah Martha (29) dari Desa Negeri Amahusu. Setelah bertahun-tahun membantu ibunya, dia kini menjalankan usahanya sendiri, memadukan praktik tradisional dengan alat-alat digital.

MEMBACA  Popsivo Polwan Tersingkir, Periksa Klasemen Final Empat Proliga 2025

"Saya masih berkeliling dari pintu ke pintu, tapi saya juga pakai Instagram untuk promosi. Banyak orang dari luar Ambon sekarang memesan bagea dan sagu lewat sana," jelasnya.

Bagi Martha, menjadi papalele tidak ketinggalan zaman — ini adalah cara untuk melestarikan identitas. Dia berharap lebih banyak pemuda Maluku yang akan menerima tradisi ini dan menemukan peluang ekonomi baru di dalamnya.

Menjaga Budaya Tetap Hidup

Penetapan papalele sebagai Warisan Budaya Tak Benda menandai tonggak penting dalam pelestarian budaya lokal.

Namun, Tukloy mencatat bahwa pengakuan hanyalah langkah pertama. Tantangan selanjutnya adalah memastikan kelangsungan antargenerasi, kesejahteraan, dan adaptasi di era digital.

Papalele bukanlah cerita masa lalu — mereka adalah tradisi yang hidup dan terus berkembang. Di balik setiap keranjang yang dibawa, tersimpan cerita tentang perjuangan, kasih sayang, dan kebanggaan perempuan Maluku.

Dari gang-gang sempit di Kota Ambon hingga pesisir Seram dan Kepulauan Lease, langkah kaki mereka bergema setiap pagi. Mereka tidak hanya menjual hasil bumi — mereka menanamkan keyakinan bahwa budaya itu sendiri dapat menopang kemakmuran.

Berita terkait: Preserving Rutong’s sago forest for food security
Berita terkait: Why this musical forest in Ambon striking all the right notes

Penerjemah: Ode, Kenzu
Editor: Anton Santoso
Hak Cipta © ANTARA 2025