Mataram, NTB (ANTARA) – Nasi memiliki tempat sentral dalam masakan masyarakat Sasak di Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat, menjadi bahan utama dalam segala hal mulai dari hidangan utama hingga makanan ringan. Ketergantungan masyarakat terhadap nasi cukup tinggi. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), hampir semua area di Lombok memiliki lahan untuk penanaman padi. Pada tahun 2024, Lombok menghasilkan 785.927 ton padi giling, menyumbang 54,07 persen dari total produksi di Nusa Tenggara Barat.
Makanan adalah sarana untuk memahami sejarah dan budaya setiap peradaban. Ini juga berfungsi sebagai bahasa universal untuk menyampaikan kehangatan dan keramahan komunitas lokal.
Setiap hidangan—melalui rasa manis, pedas, asin, gurih, asam, atau bahkan pahitnya—mengungkapkan cerita unik dan sejumlah nilai.
Oleh karena itu, tidak mengherankan bahwa pemerintah Indonesia telah membuka koridor diplomasi melalui makanan untuk membangun dan memperkuat hubungan dengan negara lain.
Sebagai bagian dari upaya diplomasi melalui makanan, dari 8 hingga 11 Mei 2025, Seri Gastrodiplomasi Indonesia diadakan di Pulau Lombok, melibatkan 38 delegasi dari berbagai kedutaan besar dan ata asing di Indonesia.
Delegasi dan ata melakukan perjalanan ke beberapa area, seperti kota Mataram, kabupaten Lombok Barat, dan kabupaten Lombok Tengah, untuk mencicipi makanan mereka dan mempelajari tradisi masyarakat Sasak.
Staf ahli urusan sosial budaya dan pemberdayaan komunitas Indonesia di luar negeri di Kementerian Luar Negeri, Heru Hartanto Subolo, mengatakan bahwa delegasi asing, yang berasal dari 27 negara, mengagumi warisan budaya dan keramahan masyarakat di Pulau Lombok.
Penggunaan makanan sebagai alat diplomasi diharapkan akan membangun dasar untuk langkah-langkah selanjutnya dalam bidang ekonomi, pendidikan, pariwisata, budaya, dan politik.
Sebuah rasa sejarah melalui serabi
Menundukkan sedikit badannya, Atukk Ayu memeriksa serabi—sejenis pancake tradisional yang terbuat dari tepung beras—yang sedang dimasaknya di atas api kayu. Aroma beras panggang dan santan tidak bisa disangkal.
Peserta Seri Gastrodiplomasi Indonesia yang mengunjungi Museum Negeri Nusa Tenggara Barat mendekat untuk melihat Ayu menyiapkan pancake tradisional tersebut.
“Silakan coba serabi. Makan dengan kelapa parut dan saus gula aren,” kata wanita berusia 61 tahun itu kepada delegasi sambil melanjutkan memasak.
Setiap serabi yang disajikan olehnya mewakili sumber daya dan budaya pertanian masyarakat Sasak.
Komponen utama serabi—tepung beras, santan, kelapa parut, dan gula aren—semua dapat diperoleh secara lokal.
Nusa Tenggara Barat telah swasembada beras sejak tahun 1984 dan telah menjadi pusat produksi pangan nasional yang penting, sebagian karena Operasi Tekad Makmur (OTM), yang berfokus pada intensifikasi budidaya padi lahan kering.
Area pertanian non-pedesaan di provinsi ini sangat bergantung pada curah hujan, yang membatasi petani untuk menanam padi hanya sekali setahun, karena lahan pertanian padi tradisional tidak dapat ditanami selama musim kemarau.
Oleh karena itu, lahan dapat ditanami dua hingga empat kali setahun dengan berbagai tanaman—seperti padi, jagung, kacang, dan bahkan tembakau—tergantung pada kondisi cuaca.
Masyarakat Sasak masih menjaga tradisi pertanian mereka, khususnya mereka yang tinggal di daerah dengan topografi berbukit dan sumber air terbatas.
Seperti yang tercantum dalam buku Tradisi Bertani Masyarakat Sasak-Lombok Nusa Tenggara Barat, yang diterbitkan oleh Museum Negeri Nusa Tenggara Barat, proses pertanian melibatkan kegiatan duniawi dan sakral.
Di sini, “sakral” berarti bahwa kegiatan tersebut tidak boleh dilakukan dengan sembarangan. Misalnya, mereka memerlukan penggunaan bahan dan alat khusus, seperti daun sirih. Mereka bersifat duniawi dalam artian bahwa mereka adalah kegiatan umum yang menggunakan alat sesuai fungsinya, seperti cangkul.
Proses pertanian masyarakat Sasak mencerminkan beberapa nilai sosial dan budaya, termasuk kerjasama timbal balik.
Selain dari padi, ada juga cerita tentang bagaimana kelapa dan pohon aren ditambahkan ke dalam serabi.
Kelapa adalah komoditas perkebunan terbesar kedua di Nusa Tenggara Barat setelah tembakau. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa 50 ribu ton kelapa diproduksi dari 58 ribu hektar lahan di provinsi ini pada tahun 2024.
Sementara itu, pohon aren mencatat volume produksi sebesar 386 ton dari luas lahan 572 hektar. Daerah dengan perkebunan pohon aren terbesar adalah Lombok Barat, dengan luas panen 199 hektar, diikuti oleh Lombok Timur (124 hektar) dan Lombok Utara (75 hektar).
Sebuah piring serabi dapat memberikan wawasan mendalam tentang sejarah dan budaya masyarakat Nusa Tenggara Barat. Pemerintah harus melakukan upaya optimal untuk menjadikan makanan sebagai daya penggerak bagi ekonomi, perdagangan, dan diplomasi.
Gastrodiplomasi
Keramahan orang Indonesia adalah cerminan dari nilai-nilai sosial, budaya, dan sejarah mereka, serta lingkungan unik mereka.
Banyak orang asing merasa nyaman saat berkunjung ke Indonesia. Makanan, keramahan orang-orangnya, dan atraksi alam yang indah menarik wisatawan ke negara ini.
Duta Besar Austria untuk Indonesia, Thomas Loidl, yang bergabung dalam program Seri Gastrodiplomasi Indonesia 2025, mengatakan bahwa ia terkesan dengan keramahan masyarakat Nusa Tenggara Barat.
Pengalaman yang diperoleh selama kunjungan empat hari ke berbagai tempat di Pulau Lombok meninggalkan kesan mendalam pada dirinya.
Selain dari makanan dengan nasi sebagai bahan utama, Nusa Tenggara Barat juga memiliki beberapa makanan lain yang dapat digunakan dalam diplomasi kuliner atau gastrodiplomasi karena keunikan mereka, seperti ayam taliwang dan sate bulayak.
Melalui gastrodiplomasi, diharapkan potensi lokal dapat dipromosikan, mendorong masyarakat lokal untuk meningkatkan kesadaran mereka akan kuliner dan budaya mereka.