Jumat, 14 November 2025 – 23:09 WIB
Jakarta, VIVA – Anggota Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI dari Fraksi Partai Gerindra, Azis Subekti, memberikan sorotan terhadap kasus mafia tanah yang dialami oleh Wakil Presiden ke-10 dan 12 RI, Jusuf Kalla.
Baca Juga :
DPR Sarankan Kebijakan Redenominasi Rupiah Tunggu Ekonomi RI Stabil
Dia meminta supaya pemerintah mengambil tindakan tegas dalam menyelesaikan masalah mafia tanah ini.
“Kasus yang menimpa Pak Jusuf Kalla ini harus menjadi sebuah titik balik. Negara tidak boleh kalah sama mafia tanah,” kata Azis kepada para wartawan, Jumat, 14 November 2025.
Baca Juga :
Azis berpendapat bahwa tanah harus kembali ke fungsi utamanya, yaitu untuk memberikan kepastian hidup yang adil bagi seluruh rakyat.
Menurut dia, sengketa yang melibatkan mantan Wapres Jusuf Kalla ini membuktikan bahwa masalah mafia tanah dan kekacauan administrasi pertanahan bukan cuma isu di media, tapi kenyataan yang bisa terjadi pada siapapun.
Baca Juga :
Jusuf Kalla: Mafia Tanah Harus Dilawan Bersama, Saya Korbannya
“Kalau seorang mantan Wakil Presiden saja bisa menjadi korban dari salah kelola administrasi pertanahan, apalagi rakyat kecil yang tidak punya akses kekuasaan dan jaringan,” ujarnya.
Dia juga menyoroti masalah yang berulang dalam tata kelola pertanahan, mulai dari sertifikat ganda, data yang tumpang-tindih, sampai proses administrasi yang kurang transparan.
Kondisi ini dianggap merugikan warga negara dan mengurangi kepercayaan publik terhadap institusi-institusi negara.
Azis juga mengatakan bahwa Presiden Prabowo Subianto sudah sejak dulu menyoroti ketidakmerataan penguasaan tanah di Indonesia. Makanya, reformasi agraria menjadi satu dari prioritas di Asta Cita.
Menurut Azis, kasus sertifikat ganda yang menimpa Jusuf Kalla itu merupakan produk administrasi lama dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan bukan satu-satunya kasus.
Dia merujuk data nasional tahun 2024 yang mencatat setidaknya ada 11.083 sengketa tanah, 506 konflik, dan 24.120 perkara pertanahan, yang penyelesaiannya baru sekitar 46,88 persen.
Sampai dengan Oktober 2025, Kementerian ATR/BPN sudah menerima 6.015 kasus dan baru menyelesaikan kira-kira 50 persennya.
“Artinya, lebih dari setengah masalah pertanahan masih belum selesai dan berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum dan konflik sosial di masa depan,” kata Azis.
Dia menambahkan, bahwa masyarakat kecil adalah pihak yang paling rentan. Pada tahun 2024, ada sekitar 2.161 kasus pertanahan yang melibatkan rakyat kecil, di luar 295 konflik agraria yang terjadi di berbagai daerah.
Halaman Selanjutnya
“Kalau seorang mantan Wakil Presiden saja bisa jadi korban maladministrasi, maka resiko untuk petani, nelayan, dan masyarakat biasa jauh lebih besar. Banyak dari mereka tidak memiliki kemampuan secara hukum, akses informasi, atau koneksi politik untuk memperjuangkan haknya. Di sinilah negara harus hadir secara aktif, tidak pasif,” ungkapnya.