Rabu, 1 Oktober 2025 – 18:39 WIB
Jakarta, VIVA – Pusat Penelitian Kebijakan Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya (PPKE FEB UB) merilis hasil kajian terbaru tentang ‘Dinamika Regulasi dan Masa Depan Industri Hasil Tembakau (IHT) di Indonesia’.
Direktur PPKE FEB UB, Prof. Candra Fajri Ananda, mengatakan penelitian ini menyoroti ketidakseimbangan regulasi antara rokok konvensional, rokok ilegal, dan rokok elektrik. Hal ini memicu perubahan perilaku konsumsi masyarakat dan berdampak serius pada kelangsungan industri kretek nasional.
"Kondisi Industri Hasil Tembakau (IHT) di Indonesia semakin tertekan oleh penerapan regulasi yang semakin ketat," kata Prof. Candra dalam pernyataannya, Rabu, 1 Oktober 2025.
Petani menjemur daun tembakau (Foto ilustrasi)
Photo : ANTARA FOTO/Aloysius Jarot Nugroho
Berdasarkan data Bea dan Cukai (2023), terjadi penurunan signifikan pada volume produksi rokok, yaitu dari 348,1 miliar batang pada tahun 2015 menjadi 318,15 miliar batang pada tahun 2023.
Penurunan ini menunjukkan besarnya tekanan yang dihadapi industri kretek. Padahal, sektor ini memiliki peran penting tidak hanya sebagai penyokong perekonomian nasional, "tapi juga sebagai bagian dari identitas budaya bangsa," ujarnya.
Prof. Candra menambahkan, hasil survei PPKE FEB UB (2025) juga melaporkan bahwa mayoritas perokok ilegal memilih rokok dengan harga sangat murah, yaitu di bawah Rp 1.000 per batang, dengan persentase 55,3%.
Sementara itu, perokok ganda cenderung memiliki pola konsumsi ringan, yaitu 1-6 batang per hari dengan persentase mencapai 47%. Sebaliknya, konsumsi berat (≥19 batang per hari) lebih banyak terjadi pada kelompok perokok ilegal, dengan persentase 21,3%.
"Hal ini menunjukkan bahwa perokok ilegal cenderung membeli rokok dalam jumlah banyak dengan harga yang sangat murah," kata Prof. Candra.
Dari sisi daya beli, hasil kajian menyatakan bahwa perokok legal dan perokok ganda umumnya bersedia membayar harga rokok maksimum pada kisaran Rp 2.500–Rp 3.499 per batang. Sebaliknya, perokok ilegal hanya mampu membayar di bawah Rp 1.000, atau antara Rp 1.000–Rp 1.499 per batang.
Temuan ini membuktikan bahwa daya beli perokok ilegal relatif jauh lebih rendah dibandingkan kelompok lainnya. Ketika harga rokok melampaui batas kemampuan mereka, mayoritas perokok ilegal (80,3%) cenderung beralih ke rokok yang lebih murah. Sementara itu, perokok gada juga menunjukkan pola serupa dengan sebagian besar beralih ke rokok elektrik.
Berbagai dinamika ini memperlihatkan adanya ketidakseimbangan regulasi yang berdampak luas pada konsumsi rokok, keberlanjutan industri kretek, hingga penerimaan negara.
"Jika tidak diantisipasi melalui kebijakan yang lebih seimbang, risiko pergeseran konsumen ke produk ilegal dan elektrik akan semakin besar, dan pada akhirnya menggerus stabilitas ekonomi sekaligus tujuan kesehatan masyarakat," ujarnya.