Perubahan iklim memiliki dampak besar pada layanan air minum di Indonesia. Bencana alam yang disebabkan oleh hidrometeorologi menjadi yang paling umum, dengan 485 banjir tercatat tahun ini. Bencana lainnya termasuk 139 peristiwa cuaca ekstrem, 58 tanah longsor, dan 39 kebakaran hutan dan lahan akibat kekeringan.
Bagi warga Jakarta, hujan deras dapat memiliki dampak besar pada lingkungan mereka. Letak geografisnya yang rendah, di antara hulu sungai dan pantai, membuat Jakarta semakin rentan terhadap banjir.
Sementara itu, musim kemarau yang diprediksi oleh Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) dari awal Mei hingga Agustus 2024 juga dapat menyebabkan sejumlah dampak yang tak terhindarkan, seperti cuaca panas dan kekeringan. Hal ini juga dapat menyebabkan kelangkaan air.
Perubahan iklim dapat memiliki konsekuensi berantai, terutama dalam hal ketersediaan sumber air bersih yang sangat penting untuk kelangsungan hidup manusia, menurut Subekti, Direktur Eksekutif Asosiasi Perusahaan Air Minum Indonesia (PERPAMSI), pada 9 Mei.
“Perubahan iklim memiliki dampak besar pada layanan air minum di Indonesia,” katanya.
Perubahan pola hidrologi akibat perubahan iklim membuat musim kemarau dan musim hujan tidak lagi seberatur sebelumnya.
“Biasanya pada bulan Maret, tidak ada lagi hujan karena masuk musim kemarau. Namun, distribusi hujan masih terjadi selama periode tersebut. Jadi, polanya berubah,” katanya.
Perubahan pola hidrologi, kata Subekti, sangat memengaruhi layanan air bersih di Indonesia karena banjir menyebabkan kelebihan air, yang membuat penyaringan air menjadi sulit.
Subekti mengatakan bahwa terlalu banyak hujan menyebabkan air menjadi terlalu keruh.
“Jika air terlalu keruh, membuatnya sangat sulit untuk diolah menjadi air bersih karena hal ini memerlukan penggunaan banyak bahan kimia oleh perusahaan,” jelasnya.
Sementara itu, musim kemarau ekstrem akibat perubahan iklim juga dapat menyebabkan kekeringan, yang pada gilirannya dapat menyebabkan kelangkaan air. Kelangkaan air tersebut akan sangat memengaruhi penyediaan air bersih bagi warga.
“Jakarta sendiri memiliki instalasi pengolahan air yang menghasilkan 500 liter air per detik di hutan kota. Namun, kekeringan menyebabkan air laut masuk; terjadi intrusi air laut. Intrusi ini membuat instalasi tidak dapat beroperasi selama hampir dua bulan,” katanya.
“Jadi, dampak perubahan iklim benar-benar dirasakan pada layanan air minum khususnya,” tambahnya.
Untuk menangani keterbatasan pasokan air mentah, diperlukan sejumlah upaya, termasuk peningkatan kapasitas air melalui pembangunan bendungan, tanggul, dan sebagainya.
Untuk mengatasi banjir selama musim hujan dan kelangkaan air selama musim kemarau, Pemerintah Provinsi Jakarta berencana membangun 12 waduk, danau, dan kolam hingga tahun 2024, seperti data dari Dinas Sumber Daya Air (SDA) Jakarta.
Delapan dari 12 rencana tersebut merupakan kelanjutan dari pembangunan yang dilakukan pada tahun-tahun sebelumnya. Kedua belas waduk tersebut antara lain Waduk Kampung Rawa Malang, Waduk Marunda, Waduk Kali Cipinang di desa Dukuh, waduk di Jalan Penganten Ali 3, dan waduk di Jalan H Dogol.
Selanjutnya adalah Waduk Kompleks Puspalad di Cakung Barat, Waduk Bau Bangkong, waduk di Cipayung, dan ruang terbuka hijau Kampung Dukuh. Kemudian, ada juga Waduk Pekayon, Waduk Jalan Kaja II, Waduk Pemuda, dan Waduk SD 01 Pesanggrahan.
Selain membangun waduk untuk meningkatkan kapasitas air, langkah lain yang perlu diambil untuk meningkatkan cadangan air mentah adalah dengan mengeksplorasi opsi alternatif, termasuk pengolahan air limbah.
“Jika air sungai tercemar oleh limbah, misalnya limbah domestik, maka tidak dapat diolah karena tidak memenuhi standar kualitas air minum. Oleh karena itu, pengolahan air limbah harus dilakukan secara masif,” jelasnya.
Sementara itu, untuk memastikan ketersediaan air bersih bagi warga Jakarta, pemerintah Jakarta juga menekankan pentingnya menghentikan penggunaan air tanah di area tersebut.
Penggunaan air tanah untuk kebutuhan air bersih bagi warga Jakarta, khususnya di Jakarta Utara, telah dilarang karena kondisi air tanah di daerah tersebut sudah tidak lagi layak dan berada dalam kategori berbahaya.
Pelarangan tersebut diatur dalam Peraturan Gubernur Jakarta Nomor 93 Tahun 2021 tentang zona tanpa air tanah.
Artikel 2 dari peraturan tersebut menetapkan sejumlah kriteria dan target untuk zona tanpa air tanah, dan telah diterapkan mulai 1 Agustus 2023.
Salah satu penyebab pembatasan adalah kualitas air tanah yang semakin buruk karena sumur bor dibangun dekat dengan jamban dan populasi yang padat di area tersebut membuat air tanah terkontaminasi oleh bakteri dan polutan.
Untuk mengatasi masalah ini, pemerintah Jakarta mendorong perusahaan air minum milik daerah PAM Jaya untuk melakukan instalasi pipa guna memenuhi kebutuhan warga akan air bersih.
Plt Gubernur Jakarta, Heru Budi Hartono, memastikan bahwa instalasi jaringan pipa di area Kamal Muara tidak dipungut biaya. Ia juga meminta warga untuk menggunakan dan menjaga air dari PAM Jaya dengan bijaksana.
Hingga saat ini, sistem pipa yang dibangun oleh PAM Jaya telah dipasang dari Tangerang ke Bekasi dan dari Marunda Kepu hingga perbatasan Tangerang.
Sementara itu, Direktur Layanan PAM Jaya Syahrul Hasan mengatakan bahwa perusahaannya saat ini sedang fokus pada memenuhi kebutuhan warga akan air minum secara langsung, tugas yang sebelumnya dikelola oleh mitra swasta, yaitu Aetra dan Palyja.
PAM Jaya baru-baru ini memulai proyek pengembangan sistem pasokan air minum (SPAM) untuk mencapai target cakupan air minum pipa 100 persen di Jakarta pada tahun 2030.
Air bersih sangat penting untuk kelangsungan hidup manusia. Oleh karena itu, semua pemangku kepentingan, bersama dengan masyarakat, harus berusaha untuk memastikan ketersediaan dan pelestariannya guna menjamin pembangunan masa depan Indonesia.