Meningkatkan ekosistem Umrah di tengah persaingan maskapai

Pada akhir Desember 2024, sebuah insiden membuat ratusan jemaah Umrah Indonesia yang dijadwalkan berangkat dari Palembang, Sumatera Selatan, ke Arab Saudi merasa kesal.

Karena masalah teknis di pesawat mereka, sebanyak 380 traveler terjebak di Bandara Sultan Mahmud Badaruddin II, Palembang, selama lebih dari 24 jam.

Ini bukanlah insiden yang terisolasi. Dalam beberapa tahun terakhir, lonjakan jumlah jemaah Umrah dari Indonesia, yang mencapai lebih dari dua juta pada September 2024, disertai dengan berbagai tantangan dalam mengorganisir ibadah tersebut.

Salah satu masalah utama adalah kapasitas maskapai penerbangan, yang tidak mencukupi untuk mengikuti permintaan.

Maskapai yang melayani rute internasional seperti Saudi Airlines, Garuda Indonesia, Qatar Airways, dan Emirates sering tidak mampu memenuhi permintaan.

Maka dari itu, maskapai lain seperti Lion Air, Batik Air, dan Citilink telah masuk ke pasar ibadah Umrah, meskipun kesiapan operasional mereka masih diragukan.

Ketua Aliansi Penyelenggara Haji dan Umrah Indonesia (Asphuri), Faisal Ibrahim Surur, juga telah menyoroti isu mendasar ini.

Ia mengatakan bahwa penundaan keberangkatan jemaah Umrah sering disebabkan oleh keterbatasan ketersediaan pesawat cadangan dengan maskapai domestik yang melayani penerbangan Umrah.

Tanpa pesawat cadangan yang mencukupi, masalah teknis pada satu pesawat dapat menunda keberangkatan ratusan jemaah, seperti yang terjadi di Palembang.

Ekosistem Umrah

Tahun ini, industri perjalanan Umrah diprediksi akan semakin terbuka dan kompetitif.

Hal ini sejalan dengan regulasi pemerintah Arab Saudi yang memudahkan pemberian visa; Visi Saudi 2030, yang bertujuan untuk meningkatkan pendapatan non-migas; dan peningkatan jumlah jemaah Umrah Indonesia setiap tahun.

Hal ini seharusnya mendorong Indonesia untuk menciptakan ekosistem Umrah yang sehat.

Negara ini, yang menghadapi beberapa tantangan dalam merealisasikan ekosistem Umrah yang terintegrasi dengan baik, dapat belajar dari kesuksesan negara lain dalam mengelola dan merealisasikan ekosistem Umrah yang lebih sehat.

MEMBACA  Persaingan Sengit di Podium 76 Descent Indonesia di Kudus

Sebagai contoh, Malaysia telah memberikan contoh dengan pendekatan kolaboratif antara pemerintah, maskapai penerbangan, dan agen perjalanan.

Unit khusus Malaysia Airlines, AMAL, secara proaktif membangun kemitraan strategis dengan agen perjalanan Umrah untuk memastikan ketersediaan jadwal dan kualitas layanan.

Salah satu contohnya adalah kerja sama mereka dengan Andalusia Travel & Tours, yang telah berlangsung selama 11 musim Umrah berturut-turut. Untuk musim Umrah 2024-2025, keduanya kembali menandatangani nota kesepahaman untuk memastikan penyediaan layanan yang lebih terintegrasi dan dapat diandalkan.

Kolaborasi tersebut termasuk sistem blokir kursi, di mana agen perjalanan dapat memastikan ketersediaan kursi. Sementara itu, maskapai penerbangan dapat merencanakan operasinya dengan lebih baik.

Pendekatan ini telah membantu menurunkan tingkat keterlambatan penerbangan di Malaysia menjadi kurang dari 5 persen.

Ini dapat menjadi inspirasi bagi Indonesia karena koordinasi antara penyelenggara perjalanan Umrah dan maskapai penerbangan sering terjadi tanpa rencana strategis yang matang di negara ini.

Langkah selanjutnya yang perlu diambil adalah memperkuat regulasi terkait maskapai yang melayani perjalanan Umrah.

Pemerintah harus membuat pesawat cadangan menjadi persyaratan lisensi bagi maskapai. Tanpa cadangan, risiko keterlambatan keberangkatan akan tetap ada. Selain itu, audit teknis reguler maskapai juga harus menjadi keharusan untuk memastikan kesiapan operasional mereka.

Teknologi juga bisa menjadi solusi untuk mengurangi risiko keterlambatan penerbangan. Sistem pemantauan berbasis data real-time dapat digunakan untuk melacak kondisi pesawat, jadwal penerbangan, dan masalah teknis potensial.

Teknologi prediktif yang telah diadopsi oleh maskapai besar di Amerika Serikat memungkinkan pemeliharaan pesawat dilakukan secara proaktif, bukan hanya ketika masalah muncul.

Bagi Indonesia, berinvestasi dalam jenis teknologi ini bisa menjadi langkah besar untuk meningkatkan kehandalan layanan penerbangan Umrah.

MEMBACA  Bandara Sam Ratulangi Ditutup Hingga Rabu Karena Erupsi Gunung Ruang

Dengan adanya sistem yang lebih canggih, maskapai dapat merespons masalah teknis lebih cepat, sementara agen perjalanan dapat memberikan informasi yang lebih akurat kepada jemaah.

Harapan

Bagi jemaah Umrah, ibadah tersebut merupakan momen spiritual yang berarti. Oleh karena itu, keterlambatan keberangkatan tidak hanya merugikan dari segi waktu dan uang tetapi juga merusak kepercayaan mereka terhadap agen perjalanan.

Oleh karena itu, semua pihak harus memahami bahwa mengorganisir perjalanan Umrah bukanlah semata-mata bisnis, tetapi tanggung jawab besar.

Presiden Prabowo Subianto telah meminta peningkatan sistem layanan Haji dan Umrah untuk membuatnya lebih transparan, bertanggung jawab, dan nyaman bagi masyarakat.

Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir mengikuti hal ini dengan menekankan kerja sama antara Kementerian BUMN, Kementerian Agama, dan Badan Pelaksana Haji dan Umrah.

Mereka semua telah sepakat untuk tetap berkomitmen mendukung dan bekerja sama untuk meningkatkan layanan bagi jemaah. Tujuannya jelas: menciptakan ekosistem Hajj dan Umrah yang terintegrasi.

Melalui kerja sama lintas sektor antara kementerian dan penyedia layanan, pemerintah bertekad untuk memberikan layanan standar tinggi untuk kelancaran pelaksanaan ibadah.

Harapannya adalah Indonesia dapat menjadi contoh dalam membangun ekosistem Hajj dan Umrah yang profesional dan inklusif.

Kementerian Agama juga telah mengambil langkah penting dengan membentuk unit Penyelidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) untuk mengawasi dan menegakkan hukum terkait pelaksanaan ibadah Umrah.

Dengan jumlah Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU) mencapai 29.683 berdasarkan situs web Kementerian Agama, kementerian merasa perlu membentuk PPNS.

Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019, PPNS Direktorat Pelaksanaan Haji dan Umrah memiliki beberapa kewenangan khusus.

Kewenangan tersebut termasuk menegakkan hukum pidana dalam pelaksanaan ibadah haji dan Umrah, melakukan penyitaan, dan menyelidiki orang yang dicurigai melakukan kejahatan.

MEMBACA  Kinerja Manufaktur Mencapai 5,8 Persen pada 2024: Menteri

Namun, regulasi yang kuat perlu disertai dengan implementasi yang konsisten di lapangan. Jika tidak, insiden seperti di Palembang akan terus terjadi.

Mengatasi masalah keterlambatan keberangkatan jemaah Umrah memerlukan kerja sama yang erat antara pemerintah, maskapai penerbangan, dan agen perjalanan.

Regulasi yang lebih ketat, penerapan teknologi mutakhir, dan koordinasi yang lebih baik adalah langkah-langkah penting yang harus segera diambil karena, pada akhirnya, penyediaan layanan yang baik bagi jemaah adalah bentuk penghormatan bagi mereka.

Kasus di Palembang harus dianggap sebagai pengingat bahwa keterlambatan bukan hanya tentang kehilangan waktu, tetapi juga mengancam kepercayaan orang.

Dengan komitmen bersama dan realisasi ekosistem Umrah yang sehat, negara dapat memastikan bahwa ibadah tersebut menjadi momen yang bermakna.

Berita terkait: Indonesia meminta Arab Saudi membangun museum hadis di Masjid Istiqlal

Berita terkait: Indonesia membujuk Arab Saudi untuk kuota petugas tambahan Hajj

Berita terkait: Pemerintah Indonesia mempertanyakan visa kunjungan yang diterbitkan seminggu sebelum Hajj

Penerjemah: Hanni Sofia, Raka Adji
Editor: Azis Kurmala
Hak cipta © ANTARA 2025