Mempelajari perkembangan terorisme tentu akan menjadi lebih menarik apabila kita ikut terlibat secara emosional dan ambil bagian dalam proses penanganannya, khususnya pada perspektif pendekatan lunak-nonpro justitia. Mendengar sebuah kuliah atau ceramah tentang terorisme tentu akan berbeda dengan mendengar langsung dari orang-orang yang pernah terlibat dalam tindakan mengerikan tersebut.
Pengantar yang digoreskan Hamidin Aji Amin di bukunya “Wajah Baru Terorisme” secara eksplisit mengajak masyarakat Tanah Air, lebih luas lagi masyarakat dunia, untuk bersama-sama bergandengan tangan terlibat dalam penanganan terorisme. Keterlibatan itu dimulai dari membaca dan memahami buku yang dihadirkannya ini.
Buku ini berisi kumpulan tulisan informatif dan edukatif yang juga didasari oleh pengalaman empiris penulis dalam berinteraksi langsung dengan napi serta mantan napi terorisme, yang ia kumpulkan dari Pusat Media Damai Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dan sebagian ia dibagikan di kolom opini media cetak selama bertugas di kewilayahan.
Penulis menceritakan detil proses berikut hasil komunikasi dan dialog dengan pelaku terorisme, apalagi dengan pelaku yang kooperatif akan memberikan pemahaman utuh tentang lika-liku perjalanan terorisme. Namun sebaliknya, apabila terjadi penolakan dalam berdialog, kegigihan akan menjadi kata kunci. Itulah yang penulis alami dan lakukan selama bertahun-tahun.
Penulis mengaku banyak berinteraksi dengan mantan pelaku dan orang-orang yang terlibat langsung dengan radikalisme di Indonesia serta beberapa negara lain yang sedang menangani orang-orang Indonesia yang terlibat radikalisme terorisme di negaranya. Setidaknya hampir seluruh lembaga permasyarakatan (lapas) di Tanah Air yang di dalamnya ada tahanan teroris pernah didatanginya. Begitu pula mereka yang telah kembali ke masyarakat setelah menjalani hukuman pidana.
Belajar dari pengalaman selama berinteraksi dengan napi dan mantan napi terorisme, didukung pengalamannya selama menjadi Kepala Unit dan Kepala Sub-Detasemen Penindakan di Densus 88 Anti Teror Polri, serta menjadi Direktur Pencegahan di BNPT, ia lalu membulatkan hati menuangkan pengalamannya itu dalam buku ini.
Secara umum, buku ini banyak menceritakan bagaimana proses radikalisasi terjadi dalam lingkup lokal, regional, dan global. Proses-proses identifikasi, indoktrinasi, dan jihadisasi yang terjadi melalui proses interaksi dalam pertalian keluarga, ketokohan, patron guru dan murid, serta proses pertemanan, banyak juga disinggung. Begitu pula dengan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi yang faktanya telah turut mengambil peran dalam proses radikalisasi maya dan juga menjadi lahan subur penyebaran hoaks.
Polarisasi dan penyebaran radikalisme telah menjadi fakta yang tidak terbantahkan. Penggunaan cryptocurrency yang memiliki potensi dan pernah digunakan di Indonesia juga dikupas dalam buku ini. Untuk menambah wawasan tentang gerakan terorisme nasional, regional, dan global, penulis juga membahas organisasi terorisme masa lalu dan terorisme global kekinian, termasuk tentang tokoh-tokoh luar negeri dan tokoh sentral lokal.
Habitus Hamidin Aji Amin
Dalam menulis kita pasti pernah mengalami titik jenuh dan bosan. Tidak bisa menulis apa pun, tidak ada satu kalimat pun yang bisa terangkai. Namun sepertinya tidak demikian bagi Mahidin Aji Amin. Kentara sekali, kehadiran buku ini sebagai cerminan kegigihan dan gairah Mahidin dalam menulis. Sesibuk apapun, purnawirawan polisi yang juga praktisi penanganan terorisme ini enteng saja menulis. Menulis seperti sudah menjadi nafas hidup Hamidin.
Ide menulis bisa datang dari mana saja, dari penglihatan, pendengaran, bahkan perasaan. Ide atau gagasan tersebut harus diikat dengan segera menuliskannya, atau kapan saja pada saat ada kesempatan agar gagasan yang melintas tidak menguap begitu saja. Sepertinya kebiasaan itulah yang kerap dilakukan Hamidin Aji Amin, hingga tak heran jika tulisan-tulisannya banyak bertebaran terutama di media massa, dan bahkan ia bukukan yang salah satunya berjudul “Wajah Baru Terorisme”.
Menghasilkan sebuah karya berupa tulisan apalagi buku akan menjadi jejak sejarah. Dengan menulis seseorang dapat dikenal oleh masyarakat dan dikenang dalam sejarah keumatan manusia. Dan sejatinya kehidupan mulai dari bangun tidur sampai tidur lagi dapat menjadi cerita yang asyik untuk ditulis. Menulis adalah ungkapan jiwa, sarana mengekspresikan diri, dan menuangkan kegelisahan. Menulis juga tak harus baku, disesuaikan saja dengan kemampuan dan karakteristik kita.