Jakarta (ANTARA) – Ada produk tambang di pergelangan tangan kamu: jam tangan. Satunya lagi selalu di tangan: ponsel pintar. Yang ketiga bertengger di hidung untuk membantumu melihat: kacamata.
Dari pagi hingga petang, produk tambang terjalin dalam kehidupan sehari-hari — pengingat konstan akan apa yang diambil dari jauh di dalam Bumi.
"Kita hidup dalam paradoks," kata Jalal, salah satu pendiri A+ CSR Indonesia, dalam sebuah kelas jurnalistik baru-baru ini.
Sementara upaya global menuju transisi energi — seperti tenaga surya, sistem penyimpanan baterai, dan kendaraan listrik — dipuji sebagai solusi iklim, mereka sangat bergantung pada pertambangan, terutama untuk mineral seperti nikel.
Tetapi pertambangan, khususnya di Indonesia, sering menghadapi kritik tajam karena dampak lingkungannya: polusi air, penggundulan hutan, dan emisi dari pembangkit listrik tenaga batu bara yang digunakan dalam ekstraksi.
"Kita tidak bisa bertahan dari krisis iklim tanpa pertambangan," kata Jalal. "Tetapi cara pertambangan berkontribusi terhadap perubahan iklim dan hilangnya hutan juga menjadi perhatian serius."
Dia percaya citra sektor pertambangan bisa membaik jika perusahaan secara aktif meningkatkan kesadaran publik dan mengadopsi standar environmental, social, and governance (ESG) yang kuat.
Kerangka kerja ESG, tambahnya, membantu mengurangi jejak lingkungan pertambangan dan dapat berfungsi sebagai penyangga pelindung bagi ekosistem sekitarnya.
Namun, terlepas dari kerangka kerja ini, perhatian publik cenderung fokus pada dampak negatif pertambangan — dan Indonesia bukanlah pengecualian.
Indonesia hadapi reputasi ‘nikel kotor’
Indonesia, salah satu produsen nikel terbesar di dunia, telah mendapat sorotan internasional, khususnya terkait program hilirisasi nikelnya. Banyak perhatian berpusat di Kawasan Industri Weda Bay di Maluku Utara.
Media Barat dan kelompok lingkungan telah memberi label nikel Indonesia sebagai "kotor" — istilah yang menyiratkan praktik lingkungan yang buruk.
Ironisnya, salah satu investor utama di PT Weda Bay Nickel adalah grup pertambangan Prancis Eramet, yang memegang saham 43 persen dalam usaha patungan dengan Tsingshan Group dari Cina (57 persen).
Usaha patungan itu, Strand Minerals Pte Ltd, memiliki 90 persen saham PT Weda Bay Nickel, dengan sisa 10 persen dipegang oleh perusahaan tambang BUMN Indonesia, PT ANTAM.
Produksi di Weda Bay dimulai pada 2019, dengan output tahunan 300.000 ton feronikel.
Jerome Baudelet, CEO Eramet Indonesia, secara terbuka menentang narasi "nikel kotor", menyebutnya sebagai produk dari ketakutan atas pertumbuhan industri Indonesia yang cepat.
“Pada 2014, Indonesia hanya memasok delapan persen dari pasar nikel global,” kata Baudelet. “Pada 2019, angka itu naik jadi 33 persen, dan pada 2024, kami mencapai 61 persen dari pasokan global.”
Pertumbuhan eksplosif itu telah mengguncang industri nikel global — terutama di Barat — seiring diversifikasi produk Indonesia untuk memasukkan NPI, MHP, NiSO, dan logam nikel olahan.
Baudelet menunjuk pada meningkatnya permintaan global akan nikel, yang diproyeksikan naik 176 persen antara 2025 dan 2035. Sekitar 30 persennya akan didorong oleh baterai, sektor di mana Indonesia siap untuk mendominasi.
“Jadi, ketika mereka menyebut nikel kita murah dan kotor, itu karena mereka merasa terancam,” tambahnya.
Reformasi dan regulasi di dalam negeri
Baudelet mengakui bahwa pertambangan selalu meninggalkan beberapa dampak lingkungan dan bahwa setiap negara memiliki standar operasional yang berbeda.
Namun, dia menekankan bahwa banyak perusahaan Indonesia mengadopsi beberapa praktik terbaik dunia.
Dia juga memuji langkah pemerintah Indonesia baru-baru ini untuk memberantas pertambangan ilegal — kontributor utama degradasi lingkungan.
Dalam pidato kenegaraan pada malam HUT ke-80 Kemerdekaan Indonesia, Presiden Prabowo Subianto berjanji untuk memulihkan kekayaan negara sebesar Rp300 triliun dengan menutup 1.063 lokasi penambangan ilegal di seluruh Indonesia.
Komitmen ini mengarah pada pembentukan Satuan Tugas Pemberantasan Pertambangan Ilegal di Kawasan Hutan (Satgas PKH), yang telah mengidentifikasi 4,2 juta hektar lahan hutan yang dieksploitasi oleh penambang ilegal.
Baudelet menyambut baik reformasi ini dan menyerukan kepada semua pemain di sektor ini untuk mematuhi ESG dan berusaha menuju praktik pertambangan yang bertanggung jawab.
Pertambangan bertanggung jawab di atas pertambangan berkelanjutan
Jalal mempertanyakan penggunaan istilah "pertambangan berkelanjutan", lebih memilih "pertambangan bertanggung jawab", yang dia definisikan sebagai pertambangan yang secara aktif mempertimbangkan dampak sosial, lingkungan, dan ekonominya.
Baudelet menggemakan pandangan ini, menyoroti tujuan lingkungan Eramet: memotong emisi sebesar 40 persen pada 2035 dan mencapai netral karbon pada 2050.
Sementara mengganti pembangkit listrik tenaga batu bara tetap menjadi tantangan, Eramet memulai perjalanan dekarbonisasi pada 2024 dengan menggunakan truk pengangkut listrik di Weda Bay.
Perusahaan ini juga berkomitmen pada rehabilitasi lahan pascatambang, revegetasi, dan pemulihan ekosistem. Sama pentingnya, tanggung jawab sosial memainkan peran kunci dalam operasinya.
Melalui Kitong Bisa Foundation, Eramet mendanai beasiswa untuk siswa dari Indonesia Timur. Secara ekonomi, program LAKSMI-nya mendukung pengusaha perempuan ultra-mikro di Jakarta dan Ternate, sekaligus menciptakan lapangan kerja lokal di wilayah pertambangan.
Dari pengurangan karbon hingga program sosial, langkah-langkah Eramet masuk dalam rencana "Act for Positive Mining", yang dibangun di atas tiga pilar: menjadi mitra tepercaya bagi alam, peduli pada orang, dan mentransformasi rantai nilai.
Strategi ini didukung lebih lanjut oleh “Eramet Beyond”, komitmen perusahaan untuk menghasilkan manfaat ekonomi dan sosial jangka panjang di area operasionalnya — termasuk Indonesia, tempatnya bekerja sejak 2006.
Seruan untuk akuntabilitas
Jalal mencatat bahwa wacana "nikel kotor" telah mendorong perusahaan untuk lebih memperhatikan kepatuhan ESG — sebuah perkembangan positif.
Dia menekankan peran pengawas — media, akademisi, dan LSM — dalam memantau praktik pertambangan dan mendorong perusahaan menuju perubahan yang bertanggung jawab.
Perubahan itu, kata Jalal, harus memastikan bahwa biaya jangka panjang dari mengekstrak kekayaan dari bawah Bumi pada akhirnya dilebihkan oleh manfaat jangka panjang bagi manusia dan planet.
Berita terkait: Indonesia dorong penggunaan baterai berbasis nikel dalam produksi EV
Berita terkait: Kementerian selidiki potensi kerusakan tambang di Raja Ampat
Editor: Rahmad Nasution
Hak Cipta © ANTARA 2025