Jepang, VIVA – "Dulu musik rok adalah simbol perlawanan terhadap sistem. Sekarang, politik jadi ‘rok’ baru. Senjata kita bukan gitar, tapi kata-kata."
Baca Juga:
Kisah Para Penerima Beasiswa Berhasil, Sekarang Sukses Bekerja di Luar Negeri
Itu adalah salah satu slogan unik yang dipakai Sanseito, partai populis sayap kanan baru di Jepang yang sedang menarik banyak perhatian anak muda. Didirikan saat awal pandemi COVID-19 tahun 2020, partai ini berkembang pesat dengan memanfaatkan rasa kecewa publik terhadap kebijakan pemerintah, termasuk soal imigrasi, penanganan pandemi, dan konstitusi pascaperang.
Menurut laporan media Jepang, Mainichi, Minggu 29 Juni 2025, Sanseito tidak hanya membawa narasi anti-imigran, tapi juga menyerukan revisi Konstitusi Jepang tahun 1947. Beberapa pendukungnya bahkan ingin kembali menggunakan slogan era kekaisaran seperti Hakko Ichiu yang dulu dipakai untuk membenarkan ekspansi militer ke Asia.
Baca Juga:
Latihan Militer China Dekat Jepang Picu Kekhawatiran dan Protes
Tumbuh Karena Kekecewaan dan Media Sosial
Dalam pemilu Oktober tahun lalu, Sanseito berhasil dapat tiga kursi. Sekarang, di bawah pimpinan Sohei Kamiya, mereka menargetkan enam kursi di pemilu musim panas ini.
Popularitas Sanseito naik seiring ketidakpuasan terhadap ekonomi Jepang dan jumlah turis asing yang memecahkan rekor. Banyak pendukungnya merasa orang asing diperlakukan lebih baik daripada warga Jepang sendiri. Mereka khawatir budaya Jepang perlahan hilang.
Daya Tarik di Kalangan Anak Muda
Yang mengejutkan, banyak anak muda Jepang yang tertarik dengan narasi Sanseito.
Seorang mahasiswa 18 tahun dari Nara mengenal partai ini dari ayahnya sebelum Pemilu 2022. Dia kecewa dengan pemerintahan Perdana Menteri Shigeru Ishiba.
"Orang Jepang sendiri susah hidup, tapi pemerintah malah kirim uang ke luar negeri dan beri fasilitas berlebihan buat orang asing," katanya.
Dia tertarik pada seruan Sanseito untuk batasi pembelian tanah oleh investor asing dan batasi tenaga kerja asing. Dia juga aktif sebarkan selebaran partai saat acara Coming-of-Age di Nara.
Dari Masker Sampai Makanan Organik
Pandemi juga jadi kesempatan Sanseito dapat simpati publik. Seorang siswi 19 tahun di Wakayama jadi pendukung partai karena merasa "tertekan" dengan kewajiban pakai masker.
Sanseito pernah kampanye soal "kebebasan pakai masker". Gadis ini bahkan sempat lepas masker di sekolah meski ditegur guru.
Bersama ibunya, ia aktif ikuti kegiatan Sanseito. Dia mengagumi Sohei Kamiya, pemimpin partai, yang disebutnya karismatik seperti idol Jepang.
Apa yang Harus Diwaspadai?
Sanseito menunjukkan bagaimana populisme sayap kanan bisa tumbuh di Jepang. Narasi anti-imigran, nasionalisme, dan kekecewaan ekonomi jadi bahan bakar kuat.
Meski masih kecil, dukungan dari anak muda—yang biasanya tak tertarik politik—menjadi tanda peringatan bagi sistem politik Jepang.
Dengan retorika yang menyentuh sejarah, budaya, dan nasionalisme, Sanseito berhasil isi ruang kosong yang ditinggalkan partai konvensional.
Apakah mereka hanya fenomena sementara? Atau awal perubahan besar?
Waktu yang akan menjawab. Tapi satu hal pasti: suara anak muda mulai terdengar di panggung politik Jepang—dan Sanseito berhasil menangkapnya.
Baca Juga:
Duduk di Kursi Roda dan Jari Bengkak, Kondisi Putri Eko Patrio di Jepang
Halaman Selanjutnya:
Sanseito berakar kuat di media sosial. Kampanyenya menggabungkan nasionalisme, krisis identitas, dan kekhawatiran akan masa depan. Di banyak forum diskusi, peserta mengusulkan perubahan konstitusi agar menyatakan "Jepang milik rakyat Jepang" dan larang kepemilikan tanah oleh orang asing.