Jakarta (ANTARA) – Indonesia masih menunggu tanggapan resmi dari Uni Eropa (UE) mengenai kekhawatirannya atas Peraturan Deforestasi UE (EUDR), menurut pejabat dari Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian.
"Kami sudah mengirim pertanyaan secara tertulis. Mereka janji akan memberikan jawaban tertulis," kata Dida Gardera, staf ahli kementerian, pada Kamis.
Pernyataan ini muncul setelah dialog bilateral antara Indonesia dan UE pada 4 Juni di Brussel, di mana kedua pihak membahas implikasi EUDR.
Gardera menyebut Indonesia meminta klarifikasi atas beberapa isu penting: dasar hukum dan metodologi klasifikasi risiko, pengakuan sistem legalitas nasional Indonesia, potensi ketidaksesuaian dengan aturan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), serta beban administratif yang bisa ditimbulkan aturan ini bagi petani kecil, terutama terkait persyaratan geolokasi dan ketertelusuran digital.
Dia menekankan bahwa kekhawatiran ini serius karena peraturan bisa berdampak langsung pada petani — lebih dari 90% produsen kopi dan kakao Indonesia adalah petani kecil, jelasnya.
Gardera juga mendesak UE agar mengakui pendekatan berbasis agroforestri Indonesia dalam budidaya kopi dan kakao.
Misalnya, 23% perkebunan kopi milik BUMN Perhutani di Jawa berlokasi di kawasan hutan dan dikelola dengan metode agroforestri yang, katanya, tidak merusak ekosistem hutan.
"Mustahil bagi kami menerapkan model EUDR yang memisahkan produksi dari hutan. Untuk kopi dan kakao, pendekatan itu tidak cocok — mungkin untuk kelapa sawit, tapi tidak untuk tanaman ini," ujarnya.
EUDR mewajibkan perusahaan memastikan produk yang dijual di UE bebas deforestasi, artinya tidak diproduksi di lahan yang mengalami deforestasi atau berkontribusi pada kerusakan hutan.
Berita terkait: Indonesia, Malaysia terus upaya atur peraturan deforestasi UE
Berita terkait: Indonesia desak revisi peraturan deforestasi UE
Penerjemah: Arnidhya Nur, Raka Adji
Editor: Anton Santoso
Hak Cipta © ANTARA 2025