Gunung Rinjani di Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat, merupakan magnet bagi pecinta wisata alam dengan vegetasi savana, hutan tropis, danau, dan aroma belerang yang memberikan kesan ketenangan yang tidak terganggu. Namun, citra tersebut segera memudar begitu Anda melihat jejak sampah yang berserakan di sepanjang jalur pendakian dan sampah yang tersebar di lokasi perkemahan Gunung Rinjani.
Pencemaran sampah telah menjadi masalah serius di gunung tersebut, yang menjulang tinggi mencapai 3.726 meter. Menurut manajer utama Badan Pengelola Geopark Global Rinjani UNESCO, Mohamad Farid Zaini, pencemaran sampah telah meningkat selama dekade terakhir di lokasi tersebut. Tumpukan sampah plastik yang semakin bertambah tidak hanya merusak pemandangan, tetapi juga mengancam lingkungan dan kesehatan gunung: Sampah yang berserakan di area Taman Nasional Gunung Rinjani dapat mencemari tanah dan air, bahkan membunuh hewan yang mengonsumsinya.
Berdasarkan catatan Kantor Taman Nasional Gunung Rinjani, 140 ribu orang mendaki gunung tersebut pada tahun 2023. Jumlah kunjungan wisatawan yang tinggi setelah pandemi COVID-19 telah berdampak pada volume sampah di area tersebut. Dan, peningkatan jumlah kunjungan wisatawan dari tahun ke tahun berpotensi memperburuk masalah tersebut.
Oleh karena itu, sangat penting untuk mengelola sampah tanpa menunda demi mencegah kerusakan lebih lanjut pada keindahan gunung tertinggi ketiga di Indonesia.
Kolaborasi multi-pihak
Pada 3 September 2024, perwakilan dari berbagai pemangku kepentingan, yang terdiri dari pemerintah setempat, penyelenggara pendakian, pemandu, serta masyarakat lokal, berkumpul untuk diskusi Trekking Tanpa Sampah Rinjani di sebuah hotel di depan resor pendakian Desa Sembalun di Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat.
Duduk berjejer, mereka menyusun strategi yang tepat untuk mengatasi pencemaran sampah di Gunung Rinjani. Kepala Kantor Taman Nasional Gunung Rinjani, Yarman, mengatakan bahwa enam jalur pendakian – jalur Senaru dan Torean di Kabupaten Lombok Utara; jalur Sembalun, Timbahun, dan Tete Batu di Kabupaten Lombok Timur; dan jalur Aik Berik di Kabupaten Lombok Tengah – menyumbang sebagian besar sampah.
Mengawasi Gunung Rinjani, yang memiliki beberapa jalur pendakian, adalah tantangan besar mengingat jumlah petugas yang terbatas. Selain itu, wisatawan yang turun seringkali tidak menggunakan jalur yang sama dengan yang mereka gunakan untuk mendaki gunung.
Pemerintah tidak dapat mengurangi jumlah jalur pendakian menjadi hanya satu atau dua untuk mendukung pengelolaan sampah – langkah yang diterapkan di gunung lain di Pulau Jawa – mengingat dampaknya pada ekonomi lokal.
Selain enam jalur pendakian, terdapat 21 objek wisata non-pendakian yang tersebar di empat kabupaten di Pulau Lombok, yaitu Lombok Utara, Lombok Timur, Lombok Tengah, dan Lombok Barat. Jumlah objek wisata non-pendakian terbesar terletak di kawasan konservasi Lombok Timur II, dengan total 19 titik.
Pada tahun 2023, Gunung Rinjani menyumbang Rp14,7 miliar (sekitar US$951,3 ribu) untuk pendapatan negara bukan pajak dengan omzet Rp79 miliar (US$5,1 juta). Mengingat nilai ekonomi yang relatif besar ini, pengelolaan sampah tidak dapat dilakukan oleh satu pemangku kepentingan tertentu, tetapi memerlukan kolaborasi di antara pemangku kepentingan terkait.
Pendakian tanpa sampah
Kegiatan Trekking Tanpa Sampah Rinjani menghasilkan deklarasi untuk memulai kampanye pendakian tanpa sampah di Gunung Rinjani. Deklarasi tersebut mengatur enam langkah pengelolaan sampah: pelatihan intensif, dukungan terhadap regulasi, gerakan pendakian tanpa sampah, komitmen untuk mencegah pembentukan sampah, kolaborasi dan keterlibatan aktif, serta optimalisasi potensi lokal untuk mengembangkan manajemen logistik pendakian.
Keindahan Gunung Rinjani menarik pendaki dari seluruh dunia. Kantor Taman Nasional Gunung Rinjani telah membatasi kuota pendaki hanya 400 orang per hari. Sistem tiket elektronik kini telah diterapkan untuk memungkinkan pengawasan aktivitas pendaki, baik untuk keamanan maupun pengelolaan sampah. Aktivitas pendakian paling sibuk terjadi dari Juli hingga Agustus.
Setiap tahun, dari Januari hingga Maret, aktivitas pendakian sementara ditutup untuk memulihkan kondisi alam dan juga membersihkan sampah yang mencemari sekitar gunung. Kantor Taman Nasional Gunung Rinjani menekankan bahwa ketika aktivitas pendakian dibuka kembali pada April 2025, pendaki tidak akan diizinkan lagi membawa kemasan makanan dan minuman plastik ke gunung.
Makanan dan minuman harus disimpan di wadah yang dapat digunakan kembali. Jika pendaki lupa membawa wadah yang dapat digunakan kembali, kantor akan menyediakannya di resor pendakian dan pos II.
Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi Nusa Tenggara Barat mengatakan bahwa Gunung Rinjani menghasilkan 11 ton sampah dalam setahun. Sepuluh ton sampah berasal dari pariwisata pendakian, dan satu ton sisanya dari pariwisata non-pendakian.
Oleh karena itu, kemasan makanan dan minuman plastik harus ditangani di pintu masuk. Pendaki harus didorong untuk membawa makanan dan minuman dalam wadah yang dapat digunakan kembali untuk mencegah akumulasi sampah plastik di sepanjang jalur pendakian dan lokasi perkemahan.
Setiap penyelenggara pendakian, pemandu, dan porter juga harus memastikan bahwa tidak ada sampah plastik yang ditinggalkan setelah aktivitas pendakian atau perkemahan di gunung, yang telah ditetapkan sebagai geopark global oleh UNESCO pada tahun 2018.
Penting untuk membangun kesadaran tentang penanganan sampah secara mandiri karena pembuangan sampah yang sembarangan akan berdampak negatif pada lingkungan dan merusak keindahan Taman Nasional Gunung Rinjani.