Di era globalisasi saat ini, pola konsumsi masyarakat Indonesia, khususnya di daerah perkotaan, mulai beralih dari masakan lokal atau tradisional ke makanan cepat saji.
Di hampir semua kota di Indonesia, restoran makanan cepat saji dapat dengan mudah ditemukan, berbeda dengan restoran yang menawarkan masakan lokal, yang semakin sulit ditemukan.
Dalam hal bahasa, juga terjadi pergeseran penggunaan istilah masakan, yang sebelumnya populer di Indonesia, namun sekarang telah digantikan oleh istilah kuliner yang diambil dari bahasa Inggris.
Hal ini merupakan tantangan besar bagi keberlanjutan masakan lokal. Anggota generasi muda – milenial, Gen Z, dan Gen Alpha – saat ini lebih akrab dengan masakan Korea, seperti kimchi, oden, topokki, dan kimbab; makanan Jepang, seperti sushi/sashimi, yakiniku, dan sukiyaki; atau makanan cepat saji Amerika, seperti ayam goreng, burger, sandwich, dan kentang goreng, daripada masakan lokal.
Ini merupakan tantangan besar bukan hanya dalam melestarikan tetapi juga menjadikannya sebagai penggerak ekonomi lokal dan nasional. Di sebagian besar wilayah di Indonesia, masakan lokal hampir terpinggirkan oleh maraknya makanan cepat saji.
Fenomena ini adalah keberhasilan strategi gastrodiplomasi negara tetangga yang bekerja pada kuliner sebagai ujung tombak ekspansi ekonomi mereka. Gastrodiplomasi merupakan bentuk diplomasi kuliner yang dilakukan oleh pemerintah untuk masyarakat. Istilah ini pertama kali diperkenalkan oleh Paul Rockower (2011).
Gastrodiplomasi bukan hanya tentang memperkenalkan masakan negara kepada masyarakat sebagai branding nasional tetapi juga tentang mengendalikan pasar global.
Penelitian oleh Nirwandi dan Awang (2014) menunjukkan bahwa gastrodiplomasi mengkomunikasikan aspek non-verbal makanan dan budaya, mempromosikan pertumbuhan ekonomi dan perdagangan yang progresif, membentuk perilaku dan persepsi konsumen, dan menciptakan gelombang konvensi sosial di negara sasaran.
AS dengan agresif mengembangkan ekonominya melalui jaringan waralaba makanan cepat saji di seluruh dunia. Sementara itu, Jepang, Tiongkok, Thailand, dan Vietnam mengembangkan melalui jaringan diaspora sebagai aktor non-negara di seluruh dunia.
Menurut Notohamijoyo pada tahun 2015, pengendalian rantai pasokan dan rantai nilai yang dilakukan mengendalikan harga produk, pasar, dan selera global.
Korea Selatan juga menjalankan strategi gastrodiplomasi yang masif dan kreatif. Peluncuran Korea Kitchen to The World dan Kimchi Diplomacy pada tahun 2002 dilakukan melalui strategi terpadu dengan layanan hiburan seperti K-pop, K-Drama, dan Games.
Negara ginseng berhasil menciptakan fenomena global konsumsi produk Korea, termasuk kuliner, sering disebut dengan Gelombang Korea Hallyu.
Apa pelajaran yang bisa Indonesia ambil dari kisah sukses negara-negara ini? Kita perlu menganalisis kritis fakta bahwa Indonesia belum memiliki strategi atau peta jalan khusus untuk gastrodiplomasi.
Sebagai negara dengan keanekaragaman hayati dan budaya yang kaya, Indonesia memiliki berbagai macam kuliner yang perlu dieksplorasi lebih lanjut, yang dapat memperkuat ekonomi lokal dan membantu bersaing di pasar global. Di sisi lain, pemerintah pusat dan daerah belum memberikan perhatian khusus untuk memperkuat keunikan masakan lokal secara terpadu.
Akibatnya, para pengusaha masakan lokal berjuang sendirian menghadapi serbuan ekspansi budaya yang luar biasa. Salah satu contohnya adalah Nasi Gandul dari Pati, Jawa Tengah, yang baru-baru ini ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda Nasional (WBTb) oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi pada tahun 2024.
Masakan tradisional Pati ini terancam serius oleh perkembangan makanan cepat saji, sehingga tidak lagi menjadi pilihan utama bagi masyarakat. Hal ini juga terjadi di daerah lain di Indonesia.
Indonesia memiliki catatan sejarah tentang bagaimana kuliner memiliki posisi strategis dan menjadi bagian dari strategi pengembangan. Presiden pertama Republik Indonesia dan Proklamator, Ir. Soekarno, akrab disapa Bung Karno, menciptakan program untuk menyusun buku resep dari seluruh wilayah Indonesia berjudul “Mustika Rasa,” yang diterbitkan pada awal 1967.
Bagi Bung Karno, kuliner Indonesia bukan hanya soal perut tetapi juga identitas nasional. Beliau selalu merindukan kuliner Indonesia dalam berbagai jamuan kenegaraan, seperti soto, sate, dan gado-gado, serta makanan ringan, seperti klepon, pukis, lemper, dan bika ambon.
Karya teladannya dilanjutkan oleh para penggantinya yang peduli terhadap pelestarian masakan lokal, seperti Dr Ir. Murdijati Gardjito, Guru Besar Fakultas Teknologi Pertanian (FTP) UGM, yang aktif melakukan penelitian dan menulis buku tentang sejarah kuliner Indonesia, atau Ibu Dinawati, yang aktif mempopulerkan kuliner khas Riau.
Tantangan selanjutnya adalah standarisasi rasa. Masakan Indonesia, seperti soto, begitu kaya rasa sehingga sulit untuk distandarisasi. Mempromosikan hidangan ini bukanlah pekerjaan yang mudah. Hidangan soto di setiap wilayah cukup beragam, seperti soto Kudus, soto Lamongan, sroto Banyumas, coto Makassar, soto Banjar, dan soto Betawi.
Mempromosikan soto memerlukan pendekatan geografis yang kuat dan peran bercerita sehingga menjadi daya tarik pariwisata kuliner di setiap wilayah.
Mempopulerkan masakan lokal juga membentuk selera konsumen yang memerlukan proses pendidikan intensif dan berkelanjutan serta diferensiasi. Di sinilah peran pemerintah diperlukan untuk memperkuat proses pendidikan, diferensiasi, dan pemanfaatan media baru, termasuk media sosial.
Kisah sukses Pemerintah Singapura dalam mempromosikan makanan jalanan lokal yang berpusat (walker center) patut ditiru. Serangkaian promosi yang dilakukan, seperti pemutaran film Crazy Rich Asian pada tahun 2018 dan kehadiran koki internasional terkenal, seperti Anthony Bourdain dan Gordon Ramsay, membantu mempopulerkan makanan jalanan Singapura. Hasil kerja keras dan kerjasama lintas pemangku kepentingan membuahkan hasil, dengan diterimanya makanan jalanan Singapura ke dalam Daftar Representatif Warisan Budaya Tak Benda Manusia UNESCO pada tahun 2020.
Indonesia perlu lebih fokus pada memperkuat keberadaan masakan lokal melalui langkah-langkah afirmatif yang dapat diukur dan melibatkan semua pemangku kepentingan, termasuk jaringan diaspora di luar negeri. Kita tidak boleh hanya puas dengan hasil survei oleh lembaga yang menempatkan masakan Indonesia sebagai favorit konsumen global, seperti Siomay dan Pempek (Taste Atlas: 2024) atau Rendang (CNN: 2021), tetapi terus tergerus oleh makanan cepat saji.