Membuka Kearifan Lokal Indonesia dalam Pengelolaan Gula Aren Berkelanjutan

Jakarta (ANTARA) – Banyak orang di seluruh dunia mungkin masih bertanya-tanya tentang lokasi geografis provinsi Banten dan Gorontalo.

Kedua provinsi ini merupakan bagian dari Indonesia tetapi terletak di pulau yang berbeda — Banten berada di Pulau Jawa, sementara Gorontalo berada di Pulau Celebes (Sulawesi). Mereka termasuk dalam 38 provinsi Indonesia.

Secara historis, komunitas lokal di wilayah-wilayah ini telah terlibat dalam kombinasi kehutanan, pertanian, dan perikanan. Mereka mengumpulkan rempah-rempah dari hutan dan pertanian pada siang hari dan menghabiskan sebagian waktunya untuk memancing di danau atau laut terdekat.

Gaya hidup tradisional ini telah berkembang menjadi bentuk kearifan lokal yang menyelaraskan aktivitas manusia dengan lingkungan. Pada masa lampau, masyarakat lokal utamanya melakukan perjalanan laut untuk perdagangan domestik maupun internasional.

Banten dan Gorontalo kaya akan warisan, termasuk Hukum Lokal kuno yang mengatur bagaimana orang menggunakan, menavigasi, dan melakukan perdagangan melalui laut, yang disebut Ammana Gappa (1697-1723).

Hukum ini, yang didirikan oleh penguasa Wajo Makassar, menjadi landasan bagi regulasi perdagangan maritim regional. Seiring waktu, hukum ini menjadi referensi utama dalam diskusi mengenai hukum maritim internasional, akhirnya mempengaruhi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS) pada tahun 1982.

Selama perjuangan Indonesia untuk kedaulatan atas perairannya, para founding fathers bangsa ini memainkan peran penting dalam negosiasi diplomatik untuk mendapatkan pengakuan internasional atas wilayah perairan Indonesia.

Selain itu, masyarakat lokal berhasil mengembangkan Kapal Layar Pertama di abad ke-14 yang disebut Pinisi (kapal layar Indonesia), yang UNESCO telah akui sebagai warisan budaya manusia dunia.

Sementara itu, di Provinsi Banten, karakter yang sama juga ditemukan, terutama selama masa Kerajaan Nusantara ketika utusan Sultan Banten dan rombongannya (perwakilan penguasa Banten) pada abad ke-16 (seperti yang tercatat dalam The Diary Of John Evelyn, 31 Oktober 1620-27 Februari 1706) berlayar melintasi laut internasional untuk mengunjungi hubungan di Afrika dan disambut oleh Raja Charles II.

MEMBACA  TSMC mendukung ambisi Joe Biden dalam chip AI dengan kesepakatan produksi senilai $11.6 miliar di AS.

Di samping melakukan perjalanan, komunitas Banten gemar menjelajahi hutan dan terlibat dalam kegiatan di sawah dan pertanian untuk menghasilkan rempah-rempah yang menarik pedagang internasional.

Sebagaimana banyak sejarawan catat, Pulau Jawa dan Celebes terkenal sebagai pusat pemerintahan kerajaan dan sumber bahan rempah organik, yang menarik banyak pengunjung untuk berbisnis dengan komunitas lokal selama periode Kerajaan Nusantara sebelum kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945.

Istilah “Nusantara” telah diadopsi sebagai nama ibu kota baru Indonesia, yang terletak di Pulau Kalimantan.

Perjumpaan personal dengan kearifan lokal

Saya telah berkesempatan mengunjungi Banten dan Gorontalo berkali-kali. Perjalanan pertama saya ke Sulawesi adalah ke Kendari pada tahun 1991, diikuti dengan kunjungan ke Boalemo, Gorontalo, pada tahun 2016 dan 2017. Sementara itu, saya sering mengunjungi Banten, karena itu adalah kampung halaman orang tua saya dan berlokasi dekat dengan Jakarta, tempat saya tinggal.

Selama kunjungan, saya sangat terkesan dengan bagaimana kedua komunitas lokal ini, di bawah pengawasan pemerintah daerah mereka, mengelola tanaman hutan untuk kebutuhan konsumsi sehari-hari mereka.

Pohon gula kelapa merupakan salah satu spesies hutan yang produktif tumbuh subur di wilayah ini. Pohon ini tetap melimpah di Gorontalo dan Banten. Secara topografi, kedua wilayah ini berbukit dan masih memiliki beberapa pohon hutan, yang sejak awal, telah menjadi bagian integral dari kehidupan masyarakat lokal.

Kedua komunitas provinsi ini menunjukkan keahlian luar biasa dalam melestarikan dan memanfaatkan keanekaragaman hayati hutan, memberikan keuntungan yang melampaui manfaat ekologis hingga juga manfaat ekonomi dan sosial.

Namun, berlalunya waktu membawa tantangan baru. Keanekaragaman hayati yang kaya dari wilayah-wilayah ini semakin terancam akibat perambahan dan pertumbuhan penduduk yang cepat. Seiring permintaan akan lahan meningkat untuk menampung pemukiman yang berkembang, tekanan terhadap ekosistem hutan semakin intensif.

MEMBACA  Olahraga dayung Indonesia, dari PON 2024 hingga Olimpiade Los Angeles

Untungnya, selama periode 2015-2017, saya melihat riset strategis yang dilakukan oleh Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup dalam Program Desa Mandiri Berbasis Aren.

Proyek ini berhasil memobilisasi masyarakat lokal untuk mengelola aset hutan melalui pengelolaan gula kelapa untuk mendukung ekonomi dan kohesi sosial masyarakat lokal. Masyarakat dilatih untuk mengolah air nira menjadi bioetanol.

Hasilnya luar biasa. Proyek ini berhasil memproduksi setidaknya 500 liter bioetanol dari 2.500 liter nira. Selain bioetanol, masyarakat lokal terbiasa memproduksi kolang kaling sebagai makanan segar dan juga gula kelapa, keduanya memiliki kualitas tinggi dalam hal manfaat kesehatan dan ekonomi. Sisa proses produksi ini juga dikonversi menjadi pupuk dan produk biomassa.

Tindakan yang diambil oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan sangat mendukung visi dan misi global untuk melindungi Bumi dari perubahan iklim, polusi, dan pemanasan global yang disebabkan oleh penggunaan bahan bakar fosil.

Pada tahun 2022, Sekretaris Jenderal PBB memperingatkan tentang konsekuensi katastrofik dari gagal menangani perubahan iklim. Dunia mendesak membutuhkan solusi energi bersih untuk mencegah krisis lingkungan dan kemanusiaan. Namun, mencapai tujuan ini memerlukan tindakan kolektif di tingkat global.

Pada tingkat nasional, pemerintah Indonesia telah berkomitmen untuk meningkatkan bagian biofuel dalam campuran energinya, dengan target mencapai 31 persen pada tahun 2050. Namun, transisi ini menantang, karena industri energi negara ini masih sangat bergantung pada bahan bakar fosil.

Karenanya, pemangku kepentingan energi Indonesia dan pihak terkait mendukung cara kreatif untuk memanfaatkan biomassa dan bioproduk.

Bersamaan dengan upaya di atas, sangat menggembirakan ketika semua pemangku kepentingan di daerah-daerah regional tetap waspada dan aktif dalam menjaga proyek yang ada, meskipun produksi bioetanol dari nira gula kelapa tetap rendah atau stagnan.

Pengakuan dan kolaborasi internasional

Untuk lebih mempromosikan pengelolaan gula kelapa yang berkelanjutan di Indonesia dan secara global, beberapa institusi kunci –termasuk Kementerian Luar Negeri, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Fakultas Teknik Universitas Indonesia, Universitas Negeri Gorontalo, dan SESRIC-OIC (berbasis di Türkiye) — telah berkolaborasi untuk menyelenggarakan webinar internasional pada tanggal 26 Februari 2025.

MEMBACA  Aroma Intrik Merayap Menjelang Timnas Indonesia vs Filipina

Langkah konkret ini telah menjadi acuan bagi setidaknya peserta dari 26 negara dan empat lembaga internasional (FAO dan tiga lembaga dalam OIC) yang hadir.

Langkah ini menjadi lebih bermakna dengan upaya narasumber dari Indonesia dan tim dalam memobilisasi sumber daya manusia dan alam, terutama dalam mengelola daerah-daerah yang tergolong sebagai daerah terpencil dan rentan. Wilayah-wilayah ini, meskipun memiliki tantangan dalam hal kualitas sumber daya manusia dan juga lingkungan, kaya akan keanekaragaman hayati.

Dengan tekad, pengetahuan, dan dukungan bapak-bapak dan ibu-ibu yang berkolaborasi dengan tim pentahalix, diyakini bahwa Indonesia terus memainkan peran penting dalam berkontribusi baik untuk pembangunannya sendiri maupun dunia.

Saya yakin bahwa konservasi keanekaragaman hayati adalah aset nasional strategis yang harus dioptimalkan oleh rakyat Indonesia. Sangat penting bagi pemimpin nasional dan regional untuk memprioritaskan isu ini dan mengintegrasikannya ke dalam program-program praktis, seimbang.

Pohon kelapa, sebagai jenis palem dari ribuan atau bahkan jutaan flora di dunia, adalah hadiah yang harus dilestarikan dan bahkan dikembangkan, seperti jenis flora bermanfaat lainnya.

Saya berharap bahwa semua komponen bangsa, termasuk pemerintah, sektor swasta, individu, dan pihak terkait, baik domestik maupun internasional, memiliki arah dan misi bersama dalam mengelola kearifan lokal mereka secara berkelanjutan.

Dengan membina visi dan misi bersama, kita dapat memastikan pendekatan seimbang terhadap ketahanan pangan, energi bersih, pelestarian lingkungan, dan pemberdayaan sosial yang berkelanjutan bagi komunitas di seluruh Indonesia dan di luar itu.

*) Moehammad Amar Ma’ruf adalah penulis Buku Katulistiwa.

Hak Cipta © ANTARA 2025

Tinggalkan komentar