Bondowoso, Jawa Timur (ANTARA) – Menjadi tua adalah hal yang tidak bisa dihindari; ini adalah fase alami dari kehidupan manusia yang seharusnya dirayakan dengan pandangan positif.
Untuk meningkatkan kesadaran akan kesejahteraan lanjut usia (lansia), Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menetapkan tanggal 1 Oktober sebagai Hari Lanjut Usia Internasional.
Tahun ini, PBB memperingati hari tersebut dengan tema "Lansia Menggerakkan Aksi Lokal dan Global: Aspirasi, Kesejahteraan, dan Hak-Hak Kami," yang menyoroti peran para lansia dalam membangun masyarakat yang tangguh dan adil.
Memang, peningkatan angka harapan hidup berkorelasi dengan pertumbuhan populasi lansia; semakin tinggi harapan hidup, semakin besar pula populasi lansianya.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa rata-rata harapan hidup Indonesia telah meningkat dari 72,13 tahun atau sekitar 72 tahun, 1 bulan, dan 17 hari menjadi 72,39 tahun atau sekitar 72 tahun, 4 bulan, dan 20 hari.
Jika yang dikategorikan sebagai lansia adalah mereka yang berusia 60 tahun ke atas, maka peningkatan harapan hidup ini menunjukkan populasi lansia di dalam negeri semakin besar.
Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) bahkan memperkirakan bahwa Indonesia akan mengalami lonjakan populasi lansia antara tahun 2035–2040, dimana kelompok ini diperkirakan akan menyusun sekitar 17 persen hingga 20 persen dari total populasi negara.
Badan tersebut memprediksi bahwa pada tahun 2035, jumlah lansia akan hampir dua kali lipat dari angka yang tercatat pada tahun 2020. Jika jumlah lansia tercatat 26 juta pada 2020, angkanya bisa mencapai 52 juta dalam tahun-tahun mendatang.
Meskipun peningkatan harapan hidup merupakan perkembangan yang positif, hal ini juga membutuhkan manajemen yang baik untuk mengurangi potensi masalah.
Ini perlu diatasi dengan pemetaan serta rencana tata kelola dari pemerintah, dengan melibatkan masyarakat, agar jumlah lansia yang bertambah tidak menjadi masalah di masa depan.
Melalui beberapa instansi dan kementerian, pemerintah Indonesia telah meluncurkan sejumlah program yang bertujuan untuk memberdayakan lansia.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak telah meluncurkan program Si Daya Lansia (Sidaya) sebagai solusi untuk mempersiapkan lansia yang sehat, produktif, dan terhindar dari rasa kesepian.
Program ini diinisiasi untuk memastikan lansia tetap sehat secara fisik dan mental dengan mengikuti kegiatan menyenangkan yang dapat meningkatkan indeks harapan hidup dan kebahagiaan mereka.
Dalam program ini, pemerintah memfasilitasi lansia untuk mendapatkan edukasi, mengikuti pengajian, dan berpartisipasi dalam senam yang menyenangkan.
Selain membantu lansia menjaga kesehatan fisik dan mental, program ini juga membantu mereka memelihara kesejahteraan sosial.
Secara kolektif, ketiga aspek ini memungkinkan lansia untuk terus berpartisipasi dalam keluarga, masyarakat sekitar, bahkan negara.
Sebaliknya, ketika seorang lansia menghadapi masalah kesehatan, beban tersebut tidak hanya ditanggung oleh individu saja, tetapi juga berdampak secara komunal, misalnya pada keluarga.
Penyakit dapat menghentikan kemampuan lansia untuk tetap produktif secara ekonomi, dan secara bersamaan membutuhkan energi dan waktu dari anggota keluarganya yang merawat.
Untuk itu, mempersiapkan diri sebelum memasuki usia lanjut sangatlah vital dan perlu disosialisasikan dari tahap awal.
Secara umum, lansia rentan terhadap kesepian. Selain menurunnya mobilitas fisik, mereka juga harus menghadapi lingkaran sosial yang menyusut. Oleh karena itu, untuk menghadapi kenyataan ini, dukungan dari keluarga menjadi sangat penting.
Dalam hal ini, keluarga juga harus mempersiapkan diri secara mental dan emosional untuk mendampingi lansia dalam melanjutkan hidupnya.
Penerimaan Diri
Meskipun penting untuk mempersiapkan orang-orang di sekitar mereka, yang lebih penting adalah mempersiapkan mental lansia untuk menjalani hidup dengan penerimaan diri.
Mereka yang terbiasa menuntut segala sesuatu berjalan sesuai keinginannya dapat mulai belajar menerima realita mereka saat ini, yang mungkin tidak selalu sejalan dengan harapan.
Dalam hal ini, psikolog dan tokoh agama memainkan peran kunci dalam mengedukasi calon lansia untuk senantiasa memupuk penerimaan dalam hati.
Dalam konteks spiritualitas, tokoh agama dapat mempersiapkan mereka dengan konsep bahwa hidup pada dasarnya adalah tentang penyerahan total kepada kehendak Tuhan.
Sementara di masa muda orang didorong untuk mengejar cita-cita yang ambisius, bagi mereka yang mendekati usia lanjut, pengaruh pola pikir yang menuntut itu harus mulai dikurangi dan beralih kepada penerimaan dan kedamaian.
Dari sisi psikolog, penerimaan diri dapat dijelaskan lebih lanjut secara ilmiah, terutama terkait dampaknya terhadap kesehatan mental dan fisik.
Bimbingan dari kedua belah pihak ini diharapkan dapat memupuk jiwa lansia untuk tetap berada dalam keadaan damai dan bahagia.
Calon lansia juga harus mulai menyesuaikan diri dengan cara hidup anak-anak mereka, terutama mereka yang sudah berkeluarga.
Naluri untuk mengendalikan hidup anak-anak harus ditinggalkan. Sebab, sebagai orang dewasa, anak-anak mereka memiliki aspirasi sendiri, yang mungkin tidak selalu sejalan dengan keinginan orang tua.
Dengan demikian, setiap orang harus belajar bagaimana menjalani hidup sepenuhnya sebagai seorang lansia dan bagaimana cara memberdayakan serta mendampingi mereka.
Berita terkait: Indonesia, Japan boost caregiver training for aging population
Berita terkait: Caring for aging population with better policies, social awareness
Hak Cipta © ANTARA 2025