Yogyakarta (ANTARA) – Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Saldi Isra menegaskan bahwa putusan MK tidak berdasarkan pada viralitas suatu kasus di masyarakat. Pernyataan ini menanggapi anggapan populer “no viral, no justice” yang beredar.
Dalam diskusi hukum di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Saldi menjelaskan bahwa konsep tersebut mungkin relevan untuk kasus konkret, tapi tidak berlaku dalam pengujian norma abstrak yang dilakukan MK.
“Anggapan bahwa kasus harus viral dulu baru dapat keadilan tidak berlaku dalam pengujian undang-undang,” ujarnya, seraya menyebut contoh kasus Nenek Minah dan guru honorer di Sulawesi.
Saldi menekankan bahwa meskipun kasus konkret sering sepemikiran dengan opini publik, putusan MK mengenai norma tetap berpedoman pada hukum, bukan pada perhatian di internet.
“Saya belum menemukan bukti sejauh mana opini publik mempengaruhi hakim,” tuturnya, seraya menambahkan bahwa upaya mempengaruhi MK memang wajar mengingat kewenangannya yang besar.
“Pandangan bahwa MK tidak boleh terpengaruh itu terlalu ideal. Wajar saja masyarakat berusaha intervensi, mengingat kewenangannya yang sangat besar,” kata Saldi.
Dia juga menekankan pentingnya menunjuk hakim dengan integritas kuat yang dapat menahan tekanan politik dan sosial. Menurutnya, proses seleksi adalah kunci bagi kemandirian judiciary.
Membandingkan dengan Amerika Serikat, Saldi menyebut pengangkatan hakim di sana lebih dipolitisir. Dia menyontohkan kontroversi etik Hakim Clarence Thomas dan fakta bahwa Mahkamah Agung AS baru membuat pedoman etik pada 2023 tanpa mekanisme penegakannya.
Sebaliknya, MK Indonesia sudah memiliki sistem etik yang berfungsi. Saldi mengutip pemberhentian Akil Mochtar dan Patrialis Akbar karena pelanggaran etik sebagai buktinya.
“Kami pernah memberhentikan Akil Mochtar dan Patrialis Akbar karena melanggar etik. Itu membuktikan sistemnya bekerja,” pungkasnya.