Limbah Kayu Menjadi Energi: Meraih Peluang dari Co-firing Biomassa

C Lombok, NTB (ANTARA) – Di sebuah lereng bukit yang dikelilingi sawah di Desa Beber, Kecamatan Batukliang, Kabupaten Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat, berdiri sebuah perusahaan yang mensuplai biomassa untuk pembangkit listrik.

Pagi itu, Syamsul Hadi sibuk menjawab teleponnya yang terus berdering. Pengusaha berusia 34 tahun itu sedang mengatur pertemuan dengan dealer kendaraan untuk membahas rencana pembelian delapan truk baru dan satu mobil sport utility vehicle.

Hadi adalah pendiri PT Syahroni Rizki Mandiri, perusahaan yang menyuplai biomassa untuk program co-firing di Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Jeranjang dan PLTU Sumbawa Barat.

Seiring program substitusi biomassa yang makin berkembang, sejalan dengan upaya pemerintah Indonesia mengurangi emisi gas rumah kaca dari sektor pembangkit listrik, Hadi melihat permintaan akan suplai biomassa terus naik. Peningkatan ini mendorongnya memperluas armada dari 11 menjadi 19 truk untuk mendukung operasi bisnis.

Substitusi biomassa, yang biasanya memakai bahan tumbuhan, kayu, dan berbagai limbah organik, makin banyak diadopsi karena penerapannya relatif sederhana, biaya lebih rendah, dan efisien dibandingkan dengan memperkenalkan teknologi batubara bersih baru atau sistem penangkapan karbon.

Program co-firing tidak memerlukan modifikasi besar pada boiler pembangkit listrik yang ada, sehingga biaya investasi jauh lebih rendah sambil mendukung upaya pengurangan emisi.

Desa sebagai Pusat Ekonomi

Industri biomassa membantu mengubah desa menjadi pusat ekonomi baru dengan menciptakan lapangan kerja dan menawarkan prospek pendapatan lebih tinggi bagi masyarakat pedesaan.

Bahan-bahan yang dulu dianggap limbah, seperti serbuk gergaji yang sebelumnya berkontribusi pada pencemaran lingkungan, kini digunakan sebagai bahan bakar di tungku pembangkit listrik. Sisa tebangan pohon, termasuk ranting, juga diolah menjadi woodchip untuk mendukung pasokan biomassa.

MEMBACA  Setelah Bantuan dari Polisi Kenya Diblokir, Warga Haiti Bertanya: Apa yang Harus Dilakukan Sekarang?

Syamsul Hadi, yang memulai karir sebagai pengusaha kayu pada 2006, mengatakan sektor biomassa telah membuka peluang pasar bagi masyarakat desa sekaligus memastikan aliran aktivitas ekonomi yang stabil di tingkat lokal.

“Waktu saya masih menjalankan usaha kayu, saya hanya mempekerjakan sekitar 10 pekerja. Sekarang, jumlah pekerja yang dipekerjakan langsung oleh perusahaan kami sudah mencapai 50 orang,” ujarnya dalam sebuah wawancara pertengahan November lalu.

Meski beroperasi di daerah pedesaan, pekerja memperoleh pendapatan rata-rata sekitar Rp5 juta per bulan, atau kurang lebih 300 dolar AS. Pekerjaan itu mencakup operator mesin woodchip, operator loader, supir truk, dan pekerja bongkar muat.

Upah tersebut jauh lebih tinggi daripada upah minimum kabupaten Lombok Tengah maupun upah minimum provinsi Nusa Tenggara Barat, yang sebesar Rp2,6 juta per bulan.

Pada September 2022, Hadi memutuskan fokus penuh menjadi supplier biomassa untuk pembangkit listrik. Ketertarikannya tumbuh setelah meneliti sektor ini secara online dan berdiskusi dengan kantor PLN Nusa Tenggara Barat.

Dia mendapatkan kontrak pertamanya selama tiga bulan pada Februari 2023 untuk menyuplai 100 ton biomassa. Perusahaan kemudian memperluas kapasitasnya hingga bisa menyuplai 2.500 ton biomassa per bulan dan telah mendapatkan kontrak kerjasama jangka panjang dengan BUMN itu selama 10 tahun.

Program substitusi biomassa juga mendorong adaptasi teknologi dan inovasi di desa. Hadi awalnya membuat mesin woodchip pertamanya memakai mesin diesel, tapi ternyata tidak mencukupi untuk beban kerja. Dia kemudian membeli mesin truk dump yang rusak, memperbaikinya, dan mengubahnya menjadi mesin penghancur kayu.

Perusahaan kini mengoperasikan 33 unit mesin woodchip, yang sebagian besar dirakit dari mesin truk dump yang direkondisi. Perusahaan juga mengelola 40 gudang penyimpanan biomassa dan mempekerjakan lebih dari 500 pekerja di seluruh operasionalnya.

MEMBACA  Kamera Mirrorless Full-Frame Paling Kecil dan Ringan, Harga Rp23 JutaanKamera Mirrorless Full-Frame Terkecil dan Ringan, Dengan Harga Rp23 Jutaan

Menyadari kebutuhan akan keberlanjutan jangka panjang, Hadi mulai mendorong budidaya tanaman energi untuk memastikan pasokan bahan baku biomassa yang stabil.

Inisiatif ini dilakukan bekerja sama dengan Hutan Kemasyarakatan Wana Lestari, yang terdiri dari 530 keluarga anggota yang mengelola area perhutanan sosial seluas 420 hektar di Desa Dara Kunci, Kecamatan Sambelia, Kabupaten Lombok Timur.

Pada Januari 2025, setidaknya 50.000 bibit berbagai jenis pohon, termasuk sengon dan eukaliptus, ditanam di area seluas 76 hektar di lereng barat Gunung Rinjani. Penanaman lanjutan sebanyak 50.000 bibit lagi dijadwalkan pada Desember 2025.

Program substitusi biomassa mendorong desa untuk menjadi penghasil energi, bukan sekadar konsumen. Program ini menciptakan rantai pasok lokal yang melibatkan petani tanaman energi, pengumpul limbah pabrik kayu, pengolah woodchip, supplier, dan pembangkit listrik.

Ribuan orang kini menggantungkan mata pencaharian mereka pada program co-firing biomassa. Seiring Indonesia menghadapi tantangan iklim dan ketergantungan pada bahan bakar fosil, biomassa semakin dipandang sebagai solusi transisi yang mendukung ketahanan energi sekaligus memperkuat ekonomi desa.

Masa Depan Berkelanjutan

Pertumbuhan penduduk, mobilitas yang meningkat, dan digitalisasi telah mendorong kenaikan permintaan energi di Indonesia. Menanggapi hal ini, pemerintah mendorong kemandirian energi dan mempercepat transisi ke energi terbarukan sebagai bagian dari komitmennya mengurangi emisi karbon dan menurunkan ketergantungan pada pembangkit listrik tenaga batu bara.

Mencapai target net zero emissions (NZE) akan membutuhkan pasokan energi yang bersih, stabil, dan bersumber dari dalam negeri. Dalam konteks ini, biomassa dipandang memainkan peran strategis sebagai solusi transisi menuju kemandirian energi nasional.

Manager Unit Bisnis Pembangkit Jeranjang, Yunisetya Ariwibawa, mengatakan penggunaan biomassa meningkat stabil setiap tahun sejalan dengan agenda transisi energi negara.

MEMBACA  Rusia Mengubah Doktrin Nuklir, AS Mengaku Tak Terkejut, Mengapa?

PLTU Jeranjang di Kabupaten Lombok Barat menggunakan 28.675 ton biomassa pada 2024, dengan target output energi hijau 22.940 megawatt-jam. Pemanfaatan biomassa aktual mencapai 29.009 ton, menghasilkan 25.043 megawatt-jam listrik hijau.

Pada 2025, pembangkit listrik ini menargetkan penggunaan 35.200 ton biomassa, yang diperkirakan menghasilkan 28.847 megawatt-jam listrik terbarukan.

Ekonom Muhammad Firmansyah dari Universitas Mataram mengatakan limbah pengolahan kayu yang digunakan sebagai bahan baku biomassa bisa dianggap sebagai "emas coklat," dan mencatat bahwa potensinya belum sepenuhnya tergali.

Menurut dia, sektor biomassa didukung oleh pasokan bahan limbah yang stabil, permintaan energi terbarukan yang tumbuh, dan biaya bahan baku yang relatif rendah. Mengintegrasikan pabrik, koperasi desa, dan pembeli energi dapat membantu memastikan keberlanjutan jangka panjang industri biomassa.

“Begitu rantai pasok terbentuk dengan baik, biomassa tidak lagi sekadar proyek berbasis pabrik, tapi menjadi ekosistem bernilai tambah dengan perputaran ekonomi yang terus menerus,” ujarnya.

Firmansyah menambahkan bahwa pengolahan biomassa tidak memerlukan investasi modal besar tetapi memiliki potensi kuat untuk menciptakan lapangan kerja bagi masyarakat lokal. Dengan tata kelola yang tepat, ia yakin program co-firing biomassa dapat berkontribusi secara bertahap pada pengurangan kemiskinan.

Sering terabaikan, limbah kayu kini muncul sebagai sumber daya yang menjanjikan seiring Indonesia bergerak menuju masa depan energi yang lebih berkelanjutan dan tangguh.

Berita terkait: Menteri tandatangani peraturan untuk dorong proyek waste-to-energy

Editor: Primayanti
Hak Cipta © ANTARA 2025

Tinggalkan komentar