Kisah Mualaf Menachem Ali, Ahli Filologi yang Membangun Nama

loading…

Menachem Ali, pakar Filologi yang menjadi pendakwah kenamaan. Foto instagram @menachemali

Mendengar nama Menachem Ali, sebagian orang mungkin masih tampak asing. Ia adalah seorang pakar filologi yang mendapatkan hidayah, sehingga bisa masuk Islam dan menjadi mualaf .

Melihat ke belakang, Menachem pernah menjadi petinggi ISCS, sebuah lembaga yang sering mengadakan acara-acara keagamaan. Ia sendiri berstatus sebagai salah satu pemateri.

Namun, pencarian panjang membawanya menuju Islam. Membulatkan tekad untuk meninggalkan kepercayaan sebelumnya, Menachem Ali mantap menjadi seorang mualaf pada tahun 2005.

Lebih jauh, seperti apa sebenarnya kisah mualaf dari Menachem Ali? Berikut ini ulasannya sebagaimana dirangkum dari berbagai sumber, Jumat (13/9/2024).

Kisah Mualaf Menachem Ali

Menachem Ali telah disumpah dalam kepercayaan lamanya sejak duduk di bangku SMA. Pada perjalanan hidupnya, Ali pernah berdebat dengan KH Abdullah Wasian, seorang kristolog senior yang mampu mengupas ajaran Nasrani secara baik.

Pada satu sisi, Ali waktu itu dikenal sebagai sosok intelektual muda dari kepercayaan agamanya. Sementara Abdullah Wasian adalah nama yang disegani para pendeta karena penguasaannya atas Alkitab.

Pasca perdebatan itu, Ali belum masuk Islam. Setelah lulus dari Unair, ia melanjutkan studi S-2.

Kemudian, ia berkesempatan menjadi dosen Filologi prodi Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Unair. Selama itu, Ali terus melakukan pencarian tentang kebenaran.

Setelah perjalanan panjangnya, Ali akhirnya memutuskan masuk Islam. Ia meninggalkan keyakinan sebelumnya dan mantap menjadi mualaf pada Agustus 2005.

Kisah mualafnya itu pernah diungkap dalam sebuah podcast di kanal YouTube Dondy Tan yang tayang 23 Desember 2021. Pada siniar tersebut, Ali banyak mengungkap alasan-alasannya menjadi seorang mualaf.

Menurut Ali, ada dua faktor krusial yang menjadikannya terus mencari. Salah satunya berhubungan dengan kitab agamanya dulu.

MEMBACA  Tom Hanks mengatakan usia 35 tahun adalah yang paling sulit. Mungkin dia benar.

“Ini pengalaman saya pribadi ya. Pertama, firman Allah yang menjadi buku atau kitab itu problem. Kedua, firman Allah yang menjadi manusia itu problem.” Ucap Menachem Ali, dikutip Jumat (13/9/2024).

Pada faktor pertama soal firman Allah yang menjadi buku atau kitab, Ali mempertanyakan kesepakatan antara corak-corak kekristenan di dunia. Ia menyebut tiga kelompok besar yang masing-masing punya Alkitab, namun isinya berbeda dalam artian ada yang 73 buku, 66 buku hingga 78 buku.

“Artinya apa, semua kekristenan di dunia memang nama kitabnya sama (Alkitab). Tetapi, sebenarnya isinya itu diperdebatkan. Mana yang wahyu dan bukan itu tidak ada kesepahaman dan kesepakatan.” sambung Ali.

Lalu, Ali mencoba membandingkannya dengan kitab suci umat Islam, Al Qur’an. Terlepas dari mazhab atau organisasi apa pun yang diikuti, kitabnya hanya satu dan itu bersifat final serta tidak diperdebatkan.

Setelah resmi menjadi mualaf dan masuk Islam, Ali mulai beralih menjadi seorang pendakwah bersama spesialisasinya. Tak jarang, ia juga terlibat dalam ‘mengislamkan’ seseorang untuk menjadi mualaf.

Demikianlah ulasan mengenai kisah mualaf Menachem Ali.

Wallahu a’lam

(wid)