Kembalinya Indonesia dalam ekspor pasir laut memicu kekhawatiran lingkungan

Jakarta (ANTARA) – Indonesia, negara maritim dengan lebih dari 17 ribu pulau, telah melanjutkan kebijakan ekspor pasir laut setelah vakum selama dua dekade. Namun, Kementerian Perdagangan telah menetapkan bahwa ekspor dapat dilakukan hanya setelah kebutuhan domestik terpenuhi sepenuhnya. Kebijakan ini sejalan dengan Peraturan Pemerintah No. 26 tahun 2023, yang ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo pada bulan Mei tahun lalu. Namun, implementasinya bergantung pada revisi regulasi perdagangan yang ada. Oleh karena itu, Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan baru-baru ini mengeluarkan Peraturan Menteri 20/2024 dan 21/2024 untuk mengatasi larangan ekspor dan kebijakan ekspor, masing-masing. “Revisi ini diamanatkan oleh Peraturan Pemerintah 26 dan diajukan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan, lembaga pengawas manajemen sedimen laut,” jelas Isy Karim, direktur jenderal perdagangan luar negeri di Kementerian Perdagangan, pada 9 September 2024. Karim menekankan bahwa kebijakan ini bertujuan untuk mengatasi masalah sedimentasi yang mengancam ekosistem pesisir dan laut. Dengan mengatur ekspor pasir laut, Indonesia berupaya memanfaatkan sedimen laut untuk pengembangan dan rehabilitasi ekosistem. Kebijakan ekspor pasir telah mendapat kritik langsung dari aktivis lingkungan dan pakar, yang melihatnya sebagai tindakan pemerintah lain yang merusak perlindungan ekologi. Untuk menjelaskan kebijakan tersebut, Presiden Widodo mengatakan kepada media bahwa materi yang akan diekspor bukanlah pasir, melainkan sedimen laut, yang mengganggu jalur pelayaran. “Bukan pasir. Yang diambil adalah sedimen yang menghalangi jalur kapal,” katanya pada 17 September. Widodo menambahkan bahwa sedimen samudera berbeda dari pasir laut, meskipun keduanya tampak berpasir. Namun, pernyataannya bertentangan dengan Pasal 3 ayat 1 Peraturan Pemerintah No. 26 tahun 2023. Regulasi tersebut menetapkan bahwa manajemen sedimen harus mengesampingkan jalur pelayaran. Sebelum larangan ekspor pasir laut pada tahun 2003, Indonesia adalah pemasok utama pasir laut ke Singapura, yang sedang melakukan reklamasi tanah. Larangan ekspor diterapkan untuk mencegah degradasi lingkungan dan penurunan pulau-pulau kecil. Mengungkapkan kekhawatiran atas penambangan sedimen laut untuk ekspor, ekonom Ihsan Ro mengatakan bahwa itu bisa memiliki konsekuensi lingkungan yang luas bagi Indonesia. Ihsan, yang merupakan dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Mataram, menunjukkan bahwa biaya restorasi lingkungan bisa melebihi pendapatan non-pajak yang dihasilkan dari ekspor sedimen laut. Dia menekankan perlunya studi komprehensif untuk mengevaluasi manfaat dan kerugian dari kegiatan tersebut. “Bergegas untuk menerapkan regulasi dengan mencabut yang lama tanpa penelitian menyeluruh adalah tindakan yang tidak bijaksana,” katanya. Kebijakan pemerintah juga menghadapi keberatan dari politisi. “Kami mendesak pemerintah untuk mempertimbangkan kembali kebijakan ini karena ekspor pasir dapat membahayakan ekologi laut dan menyebabkan bencana. Kerusakan ekologis bisa jauh lebih besar daripada keuntungan yang didapat,” kata Daniel Johan, anggota Komisi IV Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dalam sebuah pernyataan. Dia mencatat bahwa penambangan pasir laut bisa menyebabkan penurunan kualitas air akibat polusi dan perubahan komposisi air laut yang disebabkan oleh aktivitas penambangan. Selain itu, penambangan pasir dapat mempercepat erosi pantai, mengubah bentuk garis pantai, dan mengganggu habitat spesies laut yang bergantung pada substrat dasar laut untuk berkembang biak. Politisi tersebut mengingatkan dampak penting lainnya: hilangnya pulau-pulau kecil Indonesia, seperti yang pernah terjadi sebelumnya. “Hilangnya pulau-pulau kecil 20 tahun lalu selama ekspor pasir laut bisa terulang,” katanya, mengingatkan bahwa larangan ekspor pasir laut dua dekade yang lalu oleh Presiden Megawati Soekarnoputri didorong oleh kenyataan bahwa praktik tersebut terutama menguntungkan negara lain sementara merusak ekologi Indonesia dan menawarkan keuntungan yang sedikit. Kampanye kelautan Greenpeace Indonesia, Afdillah, mengingatkan bahwa keputusan pemerintah untuk melanjutkan ekspor pasir laut bisa membahayakan mata pencaharian nelayan dan masyarakat pesisir. “Penambangan pasir dapat merusak lahan penangkapan ikan nelayan, mengurangi produktivitas, dan akhirnya menyebabkan kekurangan pangan,” katanya dalam sebuah pernyataan. Kasus penambangan pasir di Kepulauan Spermonde, di lepas pantai Makassar pada tahun 2020, mengilustrasikan hal ini. Saat itu, penggalian pasir laut oleh kapal Belanda Queen of the Netherlands menyebabkan kerusakan yang signifikan pada lahan penangkapan ikan. Penambangan pasir laut dapat mengubah struktur dasar laut, dengan demikian memengaruhi pola arus laut dan meningkatkan ukuran gelombang. Di luar dampak lingkungan, penambangan pasir laut juga bisa mengancam keberlanjutan ekonomi dan sosial masyarakat pesisir, menurut organisasi nirlaba tersebut. Mengingat peran penting ekosistem pesisir dalam melindungi pantai Indonesia dan mendukung keanekaragaman hayati, alternatif berkelanjutan untuk ekspor pasir pantai sangat penting. Namun, menurut Afdillah, Peraturan Pemerintah No. 26 tahun 2023 terutama difokuskan pada mengatur lisensi dan mekanisme penambangan pasir daripada restorasi lingkungan, yang merupakan tujuannya yang sebenarnya. “Hingga saat ini, kami belum melihat upaya restorasi lingkungan yang konkret seperti yang diklaim sebagai tujuan utama regulasi. Sebaliknya, kami disajikan dengan regulasi yang sebenarnya memfasilitasi proses bisnis ekspor pasir, bukan restorasi lingkungan,” katanya. Mantan menteri kelautan dan perikanan, Susi Pudjiastuti juga menyatakan kekhawatirannya di media sosial X dan menyoroti pentingnya pasir dan sedimen. “Pasir dan segala sedimen sangat penting bagi kelangsungan hidup kita,” katanya. “Jika kita ingin memanfaatkan pasir/sedimen ini, mari gunakan untuk meninggikan pantai utara Jawa dan wilayah lain yang terkena erosi dan penurunan. Dengan begitu, Indonesia dapat mendapatkan kembali tanah dan sawah dari masyarakat yang tinggal di pantai utara. Ini akan menjadi penggunaan yang jauh lebih bermanfaat daripada mengekspor sumber daya berharga,” jelasnya. “Saya berharap bahwa Yang Mulia, sebagai perwakilan rakyat Indonesia, memahami perspektif ini. Terima kasih.” Keputusan untuk melanjutkan ekspor pasir laut memang kontroversial, dengan dampak lingkungan, ekonomi, dan sosial yang signifikan. Meskipun pemerintah mungkin berargumen untuk manfaat ekonomi dari praktik tersebut, potensi kerusakan pada ekosistem laut, masyarakat pesisir, dan keberlanjutan jangka panjang menimbulkan kekhawatiran serius. Berita terkait: Pasir laut diekspor untuk mencegah sedimentasi: Jokowi Berita terkait: Ekspor pasir laut tidak akan mengancam batas wilayah: Lemhannas Berita terkait: Jokowi meminta kementerian untuk mengoptimalkan produktivitas pelabuhan di Bangka Belitung Reporter: Aditya Eko Sigit Wicaksono Editor: Azis Kurmala Copyright © ANTARA 2024

MEMBACA  Kekuatan Bercerita dalam Mempengaruhi Pilihan