memuat…
Presiden Mesir Abdel Fatah Al Sisi. Foto/Ilustrasi: Al Jazeera
Seiring dengan sejarahnya, hubungan Mesir dengan Gaza dan perjuangan Palestina telah menjadi sangat rumit. Pada saat negara dengan populasi terpadat di dunia Arab masih memiliki pengaruh geopolitik, dukungan yang diberikan oleh mantan Presiden Gamal Abdel Nasser terhadap revolusi di Aljazair menjadi faktor utama keberhasilan revolusi tersebut.
Mantan Presiden Hosni Mubarak memainkan peran yang rumit di Gaza. Ia membantu membangun pengepungan setelah Hamas memenangkan pemilihan tahun 2006, dan di bawah pemerintahan Mubarak, Mesir setuju bahwa tidak ada yang bisa masuk ke Gaza tanpa izin terlebih dahulu dari Israel. Namun, perdagangan terus berlangsung melalui terowongan yang ada.
Di permukaan, Mesir di bawah kepemimpinan Mubarak meningkatkan tekanan terhadap Gaza; namun di bawah tanah, terowongan menjadi pintu keluar.
Namun ketika tekanan menjadi terlalu besar dan pertempuran pecah, seperti yang terjadi pada tahun 2008, Tzipi Livni, yang saat itu menjabat sebagai Menteri Luar Negeri Israel, berdiri di samping rekannya dari Mesir, Ahmed Aboul Gheit, yang kini menjabat sebagai Sekretaris Jenderal Liga Arab, dan menyatakan bahwa Israel akan menyerang Gaza.
Dukungan dari Mesir terhadap perang tersebut menjadi salah satu faktor di balik revolusi yang menggulingkan Mubarak tiga tahun kemudian.
Namun setelah perang, pemerintahan Mubarak kembali berubah pendirian dan menyatakan bahwa terowongan-telowongan tersebut adalah akibat dari pengepungan, dan menolak embargo senjata ke Gaza.
Gaza mengalami masa-masa yang lebih baik di bawah pemerintahan Mohamed Morsi, presiden Ikhwanul Muslimin yang menjaga perbatasan di Rafah tetap terbuka dan mencegah terjadinya perang berikutnya.
Penggulingannya, dan naiknya kekuasaan Menteri Pertahanan Abdel Fattah el-Sisi, membawa masa-masa yang lebih suram bagi Gaza.
Sisi melakukan segala upaya untuk memperketat pengepungan dengan membanjiri terowongan dan mengusir penduduk Mesir di Rafah secara paksa untuk menciptakan zona penyangga di perbatasan.
Di bawah kepemimpinan Sisi, pentingnya penyeberangan perbatasan dengan Israel menjadi semakin besar sebagai cara utama untuk memastikan Gaza tetap mendapatkan dukungan untuk kehidupan, seperti makanan, air, dan bahan bakar.
Menurut Middle East Eye atau MEE, ada dua faktor yang mempengaruhi sejarah yang sangat rumit ini. Pertama adalah penurunan kepentingan geopolitik Mesir di bawah pemerintahan Sisi. Mesir tidak lagi relevan dengan negara tetangganya yang terbesar. Di tengah perang saudara di Sudan, negara kecil di Teluk, Uni Emirat Arab, memiliki peran yang lebih besar. Mesir juga tidak relevan dengan nasib Libya.
Kedua adalah ketakutan yang mendalam yang dirasakan oleh Sisi terhadap Ikhwanul Muslimin dan klaim legitimasi mereka yang melekat dan bertahan lama di Mesir – rasa takut ini secara erat terkait dengan penindasan brutal terhadap Arab Spring.
Jika Sisi benar-benar memenuhi janjinya untuk tidak mengizinkan Israel melakukan pembersihan etnis di Gaza, maka ia berkewajiban untuk membantu warga Palestina bertahan hidup di tanah mereka yang hancur. “Mesir harus memastikan kebutuhan dasar Gaza seperti makanan, air, dan obat-obatan, baik melalui penyeberangan atau melalui laut,” tulis David Hearst, Pemimpin Redaksi MEE.
Mereka bahkan dapat mengundang negara-negara lain dari Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) untuk bergabung dalam aksi pengiriman bantuan melalui udara, seperti yang dilakukan oleh Sekutu saat mematahkan Blokade Berlin pada tahun 1948.
Aksi pengiriman melalui udara semacam itu akan menantang hipokrisi Barat dan pasti akan dicemooh oleh mereka. Tentu saja, hal ini tidak akan terjadi karena kediktatoran seperti Sisi hanya peduli pada satu hal, yaitu kelangsungan hidup mereka sendiri.
Namun, ikatan antara perjuangan hak-hak Palestina dan perjuangan domestik untuk demokrasi di Mesir tidak dapat dipisahkan, dan Sisi sangat menyadari hal ini. Salah satu perjuangan ini menginspirasi yang lain, itulah sebabnya selain serangkaian aksi unjuk rasa yang telah dilakukan, Mesir telah menindak tegas siapa pun yang menunjukkan solidaritas dengan warga Palestina di depan umum.
Tentu saja, Mesir berperan dalam upaya diplomasi untuk mengakhiri perang, namun usulan tiga tahap terbarunya lebih cenderung menuju pembebasan sandera. Harus diakui juga bahwa Mesir telah mencegah Israel melakukan pengusiran massal warga Palestina dari Gaza ke Sinai. Namun, ada kesamaan yang banyak di antara mereka: seperti Israel, Sisi ingin melihat Gaza menjadi demiliterisasi dan Hamas runtuh.
(mhy)