Jejak Budaya Warung Kopi yang Bertahan di Aceh

Barisan kedai kopi, mulai dari warung tradisional hingga kafe modern, adalah pemandangan yang umum di jalan-jalan Banda Aceh. Kedai-kedai tersebut seolah tidak pernah sepi pengunjung. Bangku-bangku kebanyakan terisi atau dipadati pelanggan – baik muda maupun tua, pria maupun wanita – yang terlihat bercengkrama, bercakap-cakap dengan senang, dan menyeruput kopi di kedai-kedai tersebut dari pagi hingga petang. Dan tidak tanpa alasan. Aceh dikenal dunia sebagai salah satu produsen kopi berkualitas premium. Kopi Arabika Gayo, misalnya, memiliki tempat istimewa di hati para pecinta kopi asing – sampai-sampai dikategorikan sebagai kopi spesial. Kopi yang dihasilkan dari perkebunan di dataran tinggi Gayo dikenal memiliki aroma yang khas dengan rasa kompleks dan body yang kuat. Asosiasi Kopi Spesial Amerika (SCAA) secara teratur menempatkan kopi Arabika Gayo di puncak setiap penilaian uji cupping, dengan skor rata-rata 86–90 poin. Untuk memasukkan sebuah kopi ke dalam kategori spesial, SCAA hanya memerlukan seorang ahli uji rasa memberinya skor 80 poin dalam uji cupping. Kedai kopi di Aceh umumnya menyajikan tiga jenis kopi: kopi hitam, kopi susu, dan kopi sanger. Pada pandangan pertama, kopi sanger terlihat mirip dengan kopi susu. Perbedaannya terletak pada komposisinya: susu kental manis dan gula ditambahkan ke dalam kopi dengan cara yang aroma kopi tetap dominan. Fitur khas lain dari kopi ini adalah busanya, yang berasal dari kopi yang dikocok sebelum disajikan. Kopi memang telah menjadi bagian dari gaya hidup dan institusi sosial masyarakat Aceh. Dan budaya ini telah hidup sejak masa kolonial Belanda di Indonesia. Antropolog Aceh dari Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry Banda Aceh, Reza Idria, menyoroti kebiasaan masyarakat Aceh berkumpul dan bercakap-cakap di warung atau ruang publik, termasuk karakteristik budaya masyarakat di pesisir Selat Malaka. “Mungkin yang menikmatinya berbeda. Di dunia Melayu, ada orang minum teh tarik dan lain-lain, sedangkan di Aceh, mereka minum kopi,” katanya. Fenomena kopi menjadi minuman favorit masyarakat Aceh tidak dapat dipisahkan dari pengaruh kolonialis Belanda. Belanda membawa biji kopi ke Aceh dan membuka banyak perkebunan kopi di sana. Masuknya kopi ke Aceh mendorong munculnya kedai-kedai kopi yang digunakan oleh masyarakat sebagai tempat untuk bersosialisasi dan berkumpul dengan bebas. Di desa-desa, kedai-kedai kopi sering duduk di dekat masjid sehingga ketika adzan berkumandang, warga dapat mencapai masjid dengan lebih mudah. Hal ini telah membantu menciptakan asosiasi positif dengan kopi di kalangan masyarakat Aceh yang suka bersosialisasi dan tetap menghormati nilai-nilai ajaran Islam. Kedai kopi dan konflik Idria mengatakan bahwa kebiasaan orang berkumpul di kedai kopi juga terkait dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang melanda wilayah tersebut beberapa dekade yang lalu. Pada saat itu, kedai-kedai kopi merupakan salah satu tempat yang paling aman bagi masyarakat untuk berkumpul. Alasannya adalah ketika konflik berada pada puncaknya, aparat keamanan sering masuk ke desa-desa untuk mencari personel GAM. Hal ini menyebabkan asumsi di kalangan masyarakat bahwa siapa pun yang tidak terlihat di kedai kopi atau di desa mereka selama beberapa hari kemungkinan besar telah bergabung dengan GAM dan ditangkap. “Jadi, berada di kedai kopi juga menjadi ruang bagi orang-orang untuk terus saling melihat, memastikan bahwa… oh (orang ini) masih ada di sekitar kita atau jika, misalnya, ada penyapuan (oleh pihak berwenang), orang itu berada di kedai kopinya,” jelas Idria. Hal ini pada akhirnya membuat orang sering mengunjungi ruang publik, termasuk kedai kopi. Selama konflik, kedai-kedai kopi juga sering digunakan sebagai ruang pertukaran informasi. Setelah GAM dan pemerintah Indonesia mencapai kesepakatan perdamaian, muncul lebih banyak kedai kopi untuk memenuhi permintaan publik yang semakin meningkat. Hal ini karena masyarakat Aceh sekarang lebih bebas untuk melakukan aktivitas setelah bertahun-tahun konflik dan atas dasar peningkatan ekonomi setelah tsunami 2004. Ruang sosial dan politik praktis Citra netral mereka dan suasana santai dan informal membuat kedai kopi menjadi pilihan masyarakat untuk berbagai aktivitas. Sejak era kolonial Belanda, popularitas kedai kopi sebagai tempat untuk berkumpul dan bersosialisasi tidak pernah pudar atau berubah. Mereka adalah pilihan tempat nongkrong yang paling umum untuk bercengkrama dengan teman. Menurut Idria, kedai kopi di Aceh pertama kali berkembang di daerah pesisir. Hal ini disebabkan oleh lokasi strategis Aceh di jalur perdagangan laut sehingga wilayahnya, terutama pesisirnya, menjadi tempat interaksi di antara orang-orang dari berbagai latar belakang. Kedai kopi tidak hanya tetap menjadi tempat untuk bersosialisasi. Seiring waktu, ruang ekonomi kecil juga muncul di kedai-kedai sederhana ini, di mana transaksi seperti membeli dan menjual tanah, ternak, dan barang-barang lain sering terjadi. Dalam beberapa tahun terakhir, kedai kopi juga digunakan sebagai ruang untuk politik praktis. Kandidat kepala daerah sering menggunakan kedai kopi selama kampanye untuk mengumpulkan aspirasi masyarakat akar rumput lebih dekat dan untuk merayu dan melakukan transaksi politik oleh pejabat. “Pemilihan kepala daerah Aceh pada tahun 2006, saya telah melihat itu (politik praktis di kedai kopi). Saya sudah melihat orang menggunakan kedai kopi untuk kampanye politik dan transaksi, dan sampai sekarang, itu semakin jelas,” katanya. Kedai kopi memang telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan sosial masyarakat Aceh. Dan daripada hanya sekadar minum kafein, minum kopi telah menjadi bagian dari gaya hidup mereka. Setelah semua, segalanya bisa dilakukan di kedai kopi: dari nongkrong dengan teman atau orang yang dicintai, melakukan transaksi ekonomi, hingga menyelesaikan perselisihan. Tak heran kemudian bahwa budaya minum kopi di kedai telah dilestarikan dari generasi ke generasi dan tampak abadi bagi kota ini yang dijuluki sebagai “Serambi Mekah”. – Copyright © ANTARA 2024

MEMBACA  Memilih Jalan Hijrah: Dari Mantan Pecandu Berat Narkoba Menjadi Marbot di MasjidTranslation: Choose the Path of Hijrah: From Former Drug Addict to Caretaker at the Mosque