loading…
Ekonom mempertanyakan penempatan dana Rp200 triliun ke Himbara, dinilai seharusnya digerakkan melalui mekanisme APBN untuk belanja riil. Foto/Dok
JAKARTA – Keputusan Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa untuk menempatkan dana pemerintah sebesar Rp200 triliun dari rekening di Bank Indonesia (BI) ke bank-bank Himpunan Bank Milik Negara (Himbara) mendapat kritik pedas dari akademisi. Ekonom dari Departemen Ekonomi Universitas Andalas, Syafruddin Karimi, mempertanyakan langkah ini. Ia menilai dana tersebut seharusnya dikelola melalui mekanisme Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk belanja yang riil.
Syafruddin menegaskan bahwa dana yang mengendap di BI itu, yang berasal dari pajak dan utang, adalah uang masyarakat yang seharusnya untuk pembangunan. Bukan cuma untuk memperbaiki posisi kas pemerintah dan perbankan saja. Menurutnya, meskipun pemindahan dana ke Himbara menambah likuiditas, pada intinya uang itu belum bekerja di sektor riil.
“Padahal esensinya tetep sama, uang itu belum masuk ke proyek yang riil. Belum berubah menjadi jalan, irigasi, puskesmas, atau menciptakan lapangan kerja di daerah,” tulis Syafruddin.
Sebagai pengendali kebijakan fiskal, Menkeu seharusnya fokus memperbaiki kualitas belanja lewat APBN. Dana di BI itu, menurutnya, harus jadi pemicu untuk mengevaluasi program yang perlu dipercepat, mengatasi regulasi yang menghambat, dan memberi dukungan teknis agar belanja daerah bisa berjalan sejak awal tahun.
Dia menekankan bahwa setiap rupiah yang bergerak lewat APBN akan langsung meningkatkan permintaan barang dan jasa, menguatkan pendapatan rumah tangga, dan mendorong usaha lokal. Syafruddin menganggap asumsi bahwa bank akan langsung mengubah likuiditas besar ini menjadi kredit produktif adalah terlalu optimis.