Jakarta (ANTARA) – Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), bekerja sama dengan lembaga swadaya masyarakat Save the Children, mengampanyekan aksi iklim bertajuk “Aku, Kamu, dan Kita adalah Bumi” untuk mendorong anak-anak melindungi planet ini.
Menteri PPPA, Arifah Fauzi, menjelaskan bahwa judul aksi ini menekankan tanggung jawab bersama kita untuk melindungi Bumi. Melalui kampanye ini, tujuannya adalah agar anak-anak termotivasi untuk peduli pada lingkungan, sebelum kemudian mengajak teman-teman sebayanya bergandengan tangan menjaga planet ini.
Dalam keterangannya di Jakarta pada Sabtu, dia menekankan bahwa perempuan dan anak-anak lebih rentan terhadap krisis yang disebabkan perubahan iklim. Oleh karena itu, pemerintah dan pemangku kepentingan terkait perlu mengambil langkah-langkah untuk melindungi mereka dari dampak kerusakan lingkungan.
“Anak-anak merupakan sepertiga dari populasi Indonesia. Jika mereka terinformasi dengan baik dan mampu mengambil aksi nyata untuk keberlanjutan Bumi, kita bisa berharap generasi masa depan mewarisi lingkungan hidup yang lebih baik,” ujar Fauzi.
Dengan pemikiran itu, menteri itu menekankan pentingnya kolaborasi lintas sektor untuk memperkuat suara anak-anak dan meningkatkan keterlibatan mereka dalam agenda perubahan iklim.
CEO Save the Children Indonesia, Dessy Ukar, mengutip riset global LSM tersebut pada tahun 2025. Riset itu menunjukkan bahwa orang yang lahir pada tahun 2020 atau sesudahnya, lebih mungkin mengalami gelombang panas, banjir, kekeringan, kebakaran hutan, dan gagal panen yang lebih intens pada masa kecil mereka.
“Krisis iklim bukanlah masalah masa depan, karena kita sudah menyaksikannya saat ini. Kita dapat melihat anak-anak yang rumahnya terendam banjir, pendidikan mereka terganggu, dan kesehatan mereka terancam,” tegasnya.
Oleh sebab itu, Ukar menegaskan bahwa orang dewasa bertanggung jawab untuk memastikan suara anak-anak diterjemahkan ke dalam kebijakan dan tindakan.
Menurut riset yang sama, anak perempuan menanggung beban ganda yang dibawa oleh krisis iklim, baik di perkotaan maupun pedesaan. Temuan ini terlihat jelas di beberapa wilayah di Indonesia.
Misalnya, banjir yang berulang dan cuaca ekstrem di Jakarta Timur memaksa anak perempuan menjalankan tugas tambahan yang berat, seperti memasak, mengambil air, mengasuh adik-adiknya, dan membersihkan rumah dari puing pascabencana.
Sementara itu, anak perempuan di Nusa Tenggara Timur menghadapi akses terbatas ke sanitasi yang layak dan risiko penyakit reproduksi akibat kekeringan dan kelangkaan air. Kondisi ini juga sering menempatkan mereka pada jalur berbahaya saat harus mengambil air.
Meskipun rentan, anak perempuan terbukti memiliki kemampuan beradaptasi yang baik dalam menghadapi kesulitan. Berkat kesadaran lingkungan mereka, mereka juga memainkan peran penting dalam upaya mitigasi perubahan iklim.