Bogor, Jawa Barat (ANTARA) – Kerusakan lingkungan harus jadi prioritas serius pemerintah, karena tata kelola lahan yang buruk, penggundulan hutan, dan perlindungan ekosistem yang lemah berisiko mendorong negara ke titik kritis.
Seiring menyusutnya hutan dan kemampuan alami daerah aliran sungai menyerap air hujan, cuaca ekstrem semakin memicu banjir dan longsor yang menghancurkan permukiman manusia serta habitat satwa liar.
Efek beruntun ini memperlihatkan bagaimana kegagalan menjaga lingkungan tidak hanya membahayakan spesies rentan, tetapi juga memperbesar risiko bagi jutaan orang yang tinggal di wilayah rawan bencana.
Banjir dan longsor dahsyat yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat pada akhir November 2025 meninggalkan bukan hanya penderitaan manusia mendalam, tapi juga kerusakan lingkungan yang luas.
Di daerah terdampak paling parah, keluarga kehilangan kerabat, rumah, usaha, dan mata pencaharian. Seluruh komunitas mengungsi, harta benda mereka hanyut oleh air yang mengamuk. Korban jiwa sangat besar.
Hingga Jumat malam, 5 Desember 2025, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) melaporkan 867 orang meninggal, 521 hilang, dan setidaknya 4.200 luka-luka di tiga provinsi tersebut.
Bencana itu juga merusak satwa liar dan hutan. Air bah membawa batu besar dan kayu gelondongan, menghancurkan habitat dan membunuh spesies endemik, termasuk gajah sumatera yang statusnya kritis.
Gajah Sumatera Mati
Contoh nyata muncul pada 29 November 2025, ketika seekor gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) ditemukan mati di Desa Meunasah Lhok, Kecamatan Meureudu, Pidie Jaya, Aceh.
Bangkai itu terpendam lumpur dan sisa-sisa hutan, kepalanya menghadap ke bawah. Warga mengatakan daerah itu terpencil dan hanya bisa diakses setelah jalan kaki dua jam.
Muhammad Yunus, warga setempat, menyatakan gajah tidak pernah terlihat di desa mereka.
“Kami tidak pernah lihat gajah mati disini. Kemungkinan besar tersapu dari hutan di hulu,” kenangnya.
Insiden ini menambah pola yang mengkhawatirkan. Enam hari sebelumnya, seekor gajah betina berusia lima tahun ditemukan mati di hutan produksi di Rikit Musara, Bener Meriah, Aceh—diduga akibat racun.
Ujang Wisnu Barata, Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh, mengonfirmasi bahwa hasil nekropsi tidak menunjukkan luka eksternal, mengarah pada dugaan menelan zat beracun.
Tim mengambil sampel organ untuk analisis laboratorium, dan gubuk runtuh berisi pestisida ditemukan di dekatnya, menggarisbawahi risiko eskalasi konflik manusia-satwa liar.
Untuk mencegah kejadian lebih lanjut, tim diterjunkan untuk mengarahkan kawanan gajah menjauhi desa menggunakan suara keras agar mereka kembali ke kawasan berhutan.
Barata mendesak warga menghindari menanam komoditas yang menarik perhatian gajah.
Konflik Manusia-Gajah
Meski upaya dilakukan, konflik manusia-gajah tetap mematikan. Contohnya, pada 6 Agustus 2025, seekor gajah jantan membunuh Natalia Manalu (39) di Bengkalis, Riau, setelah masuk sendirian ke kebunnya.
Suaminya selamat tapi terluka saat berusaha menolong.
Tragedi semacam ini menyoroti keseimbangan rapuh antara manusia dan satwa liar di Sumatera, di mana hutan yang menyusut semakin mendorong gajah masuk ke permukiman.
Para konservasionis menekankan perlunya kewaspadaan dan tindakan pencegahan untuk mengurangi korban di kedua pihak.
Di tengah tragedi, muncul secercah harapan. Pada 4 Desember 2025, Taman Nasional Way Kambas di Lampung menyambut kelahiran seekor anak gajah betina dari induk bernama Yulia (12 tahun).
Anak gajah itu beratnya sekitar 64 kilogram dan terlihat sudah bisa berdiri serta menyusu dalam beberapa jam—tanda kesehatan baik. Petugas menyambut kelahiran ini sebagai tonggak positif untuk spesies yang terancam kritis.
Gajah sumatera masuk dalam daftar terancam kritis oleh International Union for Conservation of Nature (IUCN).
Kehilangan habitat, perkebunan ilegal, dan perambahan manusia terus mengancam kelangsungan hidup mereka.
Cabut Izin
Merespons bencana mematikan di tiga provinsi Sumatera itu, Kantor Walhi Jambi mendesak pemerintah mencabut izin perusahaan yang terbukti menyebabkan banjir dan longsor.
“Kami desak pemerintah mencabut izin perusahaan yang aktivitasnya terbukti menyebabkan bencana di Sumatera. Segera tinjau ulang semua izin usaha di kawasan hutan,” kata Direktur Walhi Jambi Oscar Anugrah di Jambi, Jumat (5/12/2025).
Oscar juga menyerukan pemerintah menindak tegas semua bentuk kejahatan kehutanan—tidak hanya di daerah yang sudah terdampak bencana, tapi di semua zona kehutanan—untuk mencegah malapetaka di masa depan.
Organisasinya juga mendorong revisi rencana tata kelola hutan untuk memprioritaskan mitigasi bencana ekologis, bukan hanya perdagangan karbon.
Pemerintah Indonesia menyadari betul situasi dan pentingnya melindungi gajah sumatera liar.
Oleh karena itu, Presiden Prabowo Subianto telah menginstruksikan Satgas Pemberantasan Pencurian Kayu (PKH) untuk merehabilitasi Taman Nasional Tesso Nilo sebagai suaka gajah sumatera, dimulai dari 31.000 hektare habitat kritis untuk melindungi keanekaragaman satwa taman nasional itu.
Upaya konservasi Indonesia yang lebih luas juga mencakup operasi PKH merebut kembali habitat gajah di taman nasional yang dikuasai perkebunan kelapa sawit ilegal.
Inisiatif konservasi ini memberikan harapan di tengah tragedi berulang—dari bencana lingkungan hingga konflik manusia-satwa liar yang mematikan—mengingatkan bangsa bahwa pelestarian ekologis tidak terpisah dari tanggung jawab sosial.
Hilangnya nyawa manusia dan gajah menyampaikan pesan tegas: pembalakan liar, perusakan habitat, dan eksploitasi lingkungan harus dihadapi dengan tindakan hukum tegas untuk melindungi komunitas dan satwa liar.
Hutan Sumatera, rumah bagi beberapa spesies terlangka di dunia, tetap menjadi salah satu tempat terakhir di mana gajah, harimau, dan orangutan hidup berdampingan.
Perjuangan melestarikan bentang alam ini akan membentuk masa depan lingkungan pulau itu.
Editor: Primayanti
Hak Cipta © ANTARA 2025