Formula Matematika yang Meramalkan Akhir Peradaban Manusia Berhasil Dipecahkan

Sejak manusia menjadi spesies yang (semi) cerdas dan mulai mempelajari kosmos, perjalanan kita cukup panjang untuk menyadari bahwa kita bukan pusat dari alam semesta, galaksi, atau bahkan Tata Surya kita sendiri.

Walaupun sedikit mengecewakan untuk spesies yang egois, kesadaran ini telah membawa kita pada penemuan-penemuan tentang sifat sebenarnya alam semesta kita, atau setidaknya model yang lebih mendekati kebenaran.

Meskipun ada beberapa tantangan terhadap gagasan bahwa alam semesta homogen dan isotropik ke segalah arah, asumsi ini telah membawa kita pada prediksi seperti Cosmic Microwave Background (CMB) dan metrik Friedmann-Lemaître-Robertson-Walker (FLRW), yang menggambarkan alam semesta yang terus mengembang dan kemudian dikonfirmasi lewat pengamatan astronomi.

“Prinsip Copernicus adalah dasar dari sebagian besar astronomi, diasumsikan tanpa keraguan, dan memainkan peran penting dalam banyak uji statistik untuk model kosmologi,” jelas Albert Stebbins dari Fermilab kepada Phys.org pada tahun 2008.

“Ini juga merupakan konsekuensi penting dari asumsi Prinsip Kosmologi yang lebih kuat: yaitu, kita tidak hanya tidak tinggal di bagian khusus alam semesta, tetapi juga tidak ada bagian khusus di mana pun – semuanya sama di setiap tempat (dengan variasi statistik yang wajar).”

Prinsip ini sangat praktis, karena berarti bahwa kondisi di sini dan saat ini sama dengan di sana dan saat ini, dan kondisi di sini di masa depan sama dengan di sana di masa depan juga.

MEMBACA  Sejak Jadi Tersangka, Nama Tuhan Dijadikan Alasan: Nadiem Makarim Tegaskan Integritas yang Utama