Jakarta, VIVA – Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menyatakan bahwa musim kemarau tahun 2025 akan terlambat dan durasinya lebih singkat. Hal ini terlihat pada Juni 2025 karena baru sekitar 19% zona musim di Indonesia yang memasuki musim kemarau.
Baca Juga:
Sebagian Besar Wilayah Indonesia Bakal Diguyur Hujan Hari Ini
Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati, menjelaskan bahwa sebagian besar wilayah Indonesia saat ini masih dalam kategori musim hujan, meski secara klimatologis seharusnya musim kemarau sudah dimulai di banyak daerah pada periode ini.
Penyebab keterlambatan musim kemarau tahun ini terutama karena curah hujan yang lebih tinggi dari biasanya (Atas Normal) selama April hingga Mei 2025, yang seharusnya masa peralihan dari musim hujan ke kemarau.
Baca Juga:
BMKG Keluarkan Peringatan Dini: Cuaca Ekstrem Berpotensi Terjadi di Maluku Utara 19-25 Juni 2025
Kondisi ini sudah diprediksi BMKG lewat prakiraan iklim bulanan yang dirilis Maret 2025.
Kepala BMKG (Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika) Dwikorita Karnawati
Baca Juga:
Kepala BMKG: Peringatan Dini Tak Boleh Padam karena Bergantinya Pemimpin
Dalam prediksinya, BMKG memperkirakan peningkatan curah hujan di Indonesia bagian selatan, seperti Sumatera selatan, Jawa, Bali, NTB, dan NTT. Hal ini membuat wilayah-wilayah tersebut belum bisa sepenuhnya beralih ke musim kemarau seperti biasanya.
“Prakiraan kami sejak Maret lalu menunjukkan anomali curah hujan di atas normal di wilayah-wilayah itu, jadi ini jadi alasan utama kenapa musim kemarau tahun ini mundur,” kata Dwikorita, Sabtu, 21 Juni 2025.
Berdasarkan analisis BMKG, pada 10 hari pertama Juni 2025, 72% wilayah Indonesia mengalami hujan normal, 23% lebih kering, dan hanya 5% yang masih curah hujannya tinggi.
Artinya, pengurangan hujan mulai terasa di sebagian besar wilayah, meski belum merata. Sumatera dan Kalimantan justru sudah beberapa kali mengalami curah hujan lebih rendah, jadi tanda kemarau lebih cepat terlihat di sana dibanding Indonesia selatan.
Namun, April-Mei lalu, beberapa wilayah selatan memang masih banyak hujan, termasuk Sumatera Selatan, Jawa, Bali, NTB, NTT, sebagian Kalimantan, Sulawesi, dan Papua selatan. Ini menunjukkan peralihan musim tidak seragam di seluruh Indonesia.
BMKG memperkirakan curah hujan tinggi masih akan berlanjut di beberapa wilayah sampai Oktober 2025. Karena itu, musim kemarau 2025 dipastikan lebih pendek dari biasanya.
Curah hujan tinggi saat kemarau punya dua efek:
- Positif: Petani padi tetap dapat air irigasi, mendukung produksi.
- Negatif: Tanaman hortikultura (cabai, bawang, tomat) rentan hama karena kelembapan tinggi.
“Petani hortikultura harus siapkan drainase dan perlindungan tanaman yang baik,” saran Dwikorita.
Dia juga menekankan pentingnya kesiapan pemerintah dan masyarakat menghadapi perubahan iklim yang tak menentu.
“Kita tak bisa lagi mengandalkan pola cuaca lama. Perubahan iklim global bikin banyak anomali, jadi adaptasi harus cepat dan tepat,” ujarnya.
BMKG akan terus berikan informasi cuaca akurat untuk membantu pengambilan keputusan di berbagai sektor.
“Musim kemarau tahun ini bukan cuma tantangan, tapi juga kesempatan uji kemampuan adaptasi kita,” tegas Dwikorita.