Berdampingan, Namun Tetap Berjarak: Meninjau Kembali Hubungan Indonesia-Australia

Di aula kuliah Australian National University (ANU), mantan Menteri Luar Negeri Australia Gareth Evans membuka Indonesia Update ke-42 pada tanggal 12 September dengan menekankan bahwa Australia terus memandang Indonesia sebagai mitra paling pentingnya.

Namun, dia melihat bahwa Indonesia mungkin tidak selalu menempatkan Australia pada tingkat prioritas strategis yang sama.

Ini memunculkan pertanyaan kritis: Apakah para pemimpin Australia menetapkan ekspektasi yang terlalu tinggi, ataukah Indonesia sederhananya sedang mengelola agenda kebijakan luar negeri yang jauh lebih luas?

Dengan fokus Jakarta yang tersebar di berbagai bidang seperti keterlibatan ekonomi dengan kekuatan besar, dan peran globalnya yang meluas melalui platform seperti G20, BRICS, serta proses aksesi OECD yang berlangsung, Australia, meskipun dekat secara geografis dan memiliki hubungan ekonomi yang mendalam, harus menavigasi hubungan di mana perhatian diplomatik Indonesia semakin berskala global.

Namun, apakah Indonesia benar-benar perlu menetapkan Australia sebagai “mitra paling strategis” untuk meningkatkan hubungan perdagangan dan investasi? Saya berargumen tidak.

Label seperti itu, meski penting secara simbolis, tidak seharusnya mendefinisi atau membatasi cara kita memanfaatkan berbagai bentuk kerjasama yang sudah tersedia antara kedua negara kita. Yang penting bukanlah gelar dari hubungan tersebut, tapi substansi dari apa yang kita lakukan bersama.

Menurut pandangan saya, ada beberapa cara kunci untuk terus memperkuat hubungan Indonesia–Australia:

Pertama, untuk memenuhi target pertumbuhan nasional yang ambisius, Indonesia sedang mendiversifikasi kemitraannya untuk menarik investasi masuk, mengerahkan modal untuk prioritas domestik, dan mengurangi risiko geopolitik di sektor-sektor yang rentan terhadap persaingan kekuatan besar.

Ambil contoh hilirisasi mineral kritikal. Indonesia secara aktif melibatkan banyak mitra untuk berpartisipasi dalam industri bernilai tambah yang dibangun di sekitar cadangan nikel, bauksitnya yang besar, dan diperluas ke komoditas kunci lainnya.

MEMBACA  Trump Kembali Hadirkan Uji Kebugaran Presiden untuk Sekolah Umum

Australia, meskipun sama-sama negara kaya sumber daya dengan aset mineral kritikal yang tumpang tindih, tetap menjadi kolaborator penting.

Diskusi terakhir antara kedua pemerintah sejak tahun kepemimpinan G20 Indonesia pada 2022 telah berfokus pada komplementaritas dalam rantai nilai, khususnya dalam produksi baterai dan pasokan energi terbarukan, di mana kapasitas pengolahan Indonesia dan bahan baku berkualitas tinggi Australia dapat membentuk sinergi yang alami.

Kedua, Australia sendiri sedang menyesuaikan kebijakan luar negerinya untuk memperdalam keterlibatan dengan Asia, dengan fokus yang lebih tajam pada Asia Tenggara.

Di bawah Perdana Menteri Anthony Albanese, Canberra merilis Strategi Ekonomi Asia Tenggara hingga 2040 (disusun oleh Utusan Khusus Nicholas Moore), sebuah cetak biru yang menidentifikasi Indonesia sebagai mitra prioritas dan menjelaskan jalan untuk memperluas hubungan perdagangan, investasi, dan antarbisnis secara dramatis.

Menteri Luar Negeri Penny Wong berulang kali menekankan bahwa ketahanan ekonomi Australia bergantung pada hubungan yang lebih kuat dengan lingkungannya, menggambarkan Asia Tenggara sebagai pusat bagi kemakmuran masa depan Australia.

Pada Australian Financial Review Asia Summit pada September 2025, para pemimpin bisnis dan ahli kunci Australia menegaskan kembali bahwa keterlibatan berkelanjutan dengan pasar Asia yang tumbuh cepat, termasuk Indonesia, akan sangat penting bagi pertumbuhan ekonomi jangka panjang dan stabilitas strategis Australia.

Ketiga, Indonesia dan Australia secara bertahap telah mengembangkan seperangkat instrumen formal untuk memperdalam kerjasama ekonomi.

Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif Indonesia–Australia (IA-CEPA), yang mulai berlaku pada Juli 2020, menjadi inti dari kerangka kerja ini.

Untuk mempercepat implementasi IA-CEPA, kedua pemerintah mendirikan Katalis, sebuah program kerjasama ekonomi unggulan yang mendorong peluang sektoral di bidang pertanian, makanan dan minuman, manufaktur lanjutan, mineral kritikal, pendidikan, dan layanan kesehatan, antara lain.

MEMBACA  Belajar Bisa Mendapatkan Saldo Dana Gratis Lewat Aplikasi Ini

Katalis beroperasi sebagai dana katalitik dan fasilitas teknis, mendukung proyek-proyek yang memperkuat rantai nilai, mempromosikan perdagangan inklusif, dan membuka akses pasar baru bagi bisnis di kedua negara.

Mekanisme kunci lain termasuk KINETIK (Kemitraan Iklim, Energi Terbarukan dan Infrastruktur Australia-Indonesia), sebuah inisiatif bersama untuk mendorong kolaborasi dalam transisi energi yang adil; dan KIAT (Kemitraan Indonesia–Australia untuk Infrastruktur), yang mendukung perencanaan infrastruktur, pendanaan, dan reformasi kebijakan untuk meningkatkan konektivitas.

Semua mekanisme ini diperlakukan sebagai instrumen yang hidup, secara teratur ditinjau dan ditingkatkan di bawah Rencana Aksi untuk Kemitraan Strategis Komprehensif Indonesia–Australia 2025–2029 untuk mengikuti dinamika perdagangan regional yang berubah, teknologi baru, dan prioritas nasional kedua negara yang berkembang.

Keempat, mungkin pilar paling mendasar adalah hubungan antar masyarakat, yang tetap dinamis dan sangat terjalin.

Indonesia mengirimkan jumlah pelajar terbesar dari Asia Tenggara ke Australia, memanfaatkan universitas dan lembaga pelatihan kejuruan kelas dunia nya.

Universitas Australia juga meningkatkan kehadiran mereka di Indonesia, Monash University membuka kampusnya di Jakarta pada tahun 2021 (universitas asing pertama di Indonesia), sementara yang lain seperti Western Sydney University dan Deakin University melakukan usaha serupa.

Di sisi tenaga kerja, peluang semakin tumbuh bagi pekerja Indonesia di Australia, khususnya di sektor-sektor yang menghadapi kekurangan parah, termasuk perawatan lansia, keperawatan, perhotelan, pertanian, dan konstruksi.

Pengaturan Visa Mobilitas di bawah IA-CEPA memberikan jalur tambahan bagi pekerja terampil Indonesia untuk berpartisipasi dalam pasar tenaga kerja Australia.

Namun, ada kekhawatiran yang terus-menerus bahwa banyak orang Australia tidak lagi mempelajari Bahasa Indonesia dalam jumlah yang signifikan, sekolah menengah Australia yang menawarkan kursus bahasa Indonesia telah menurun lebih dari 60 persen sejak awal 1990-an dan dengan itu, pada akhirnya, kesalahpahaman tentang kemajuan pembangunan ekonomi Indonesia yang rendah terus menghalangi beberapa investor Australia.

MEMBACA  Jamboree mengajarkan anak-anak tentang privasi di ruang digital

Meskipun dewan bisnis bilateral seperti Australia-Indonesia Business Council (AIBC) menyediakan platform pengetahuan yang berharga, keterlibatan sektor swasta harus diperluas dan diperdalam untuk membuka fase kemitraan berikutnya.

Untungnya, peran aktif Business Champion Australia untuk Indonesia diakui secara luas sebagai upaya kunci untuk memajukan agenda ini.

Namun, Indonesian Business Council (IBC) mencatat bahwa persepsi dan kepercayaan pasar harus mengejar kerangka formal yang ada.

Beberapa orang Australia mungkin kurang memiliki pengetahuan atau ketertarikan terkini tentang reformasi ekonomi dan peluang di Indonesia.

Berita negatif tentang kompleksitas regulasi dan dinamika politik Indonesia tetap menjadi penghalang. Memperluas basis pelaku sektor swasta, meningkatkan transparansi, dan lebih baik menampilkan keberhasilan bilateral dapat membantu mengatasi ini.

Akhirnya, keterlibatan pemuda sangat penting untuk membentuk ulang persepsi dan mendorong permintaan.

Pertemuan pengusaha muda, pemimpin industri kreatif, dan ikon bisnis generasi berikutnya dari kedua negara baik melalui pertukaran profesional, advokasi bersama, atau acara-acara profil tinggi seperti Indonesia Economic Summit (IES) dapat menciptakan energi segar dalam hubungan ini.

Bagaimanapun, geografi tidak seharusnya menjadi penghalang: Australia dan Indonesia sudah berkolaborasi lebih efektif dengan mitra yang jauh lebih jauh. Narasi yang lebih didorong oleh pasar dapat membantu mengubah kedekatan menjadi keuntungan ekonomi dan sosial yang nyata.

*) Penulis adalah Wakil Presiden untuk Urusan Internasional, Indonesian Business Council (IBC)

Pandangan dan opini yang diungkapkan di halaman ini adalah milik penulis dan tidak selalu mencerminkan kebijakan atau posisi resmi dari Kantor Berita ANTARA.

Berita terkait: Indonesia, Australia perkuat kemitraan pada pertemuan 2+2

Berita terkait: Indonesia cari dukungan Australia untuk aksesi OECD, CPTPP

Hak Cipta © ANTARA 2025