Jakarta (ANTARA) – Pemerintah Indonesia telah memberikan bantuan pangan sejak tahun 2023 untuk mendukung masyarakat berpendapatan rendah dan menekan inflasi.
Pada Maret 2023, pemerintah meluncurkan program bantuan beras yang ditujukan untuk 21,6 juta keluarga penerima manfaat sebagai bagian dari upaya untuk mengendalikan kenaikan harga beras. Dalam program bantuan ini, setiap keluarga penerima manfaat menerima 10 kilogram beras per bulan.
Selain itu, pemerintah juga telah meluncurkan program Stok Pangan dan Stabilitas Harga (SPHP) yang ditujukan untuk kelas menengah ke bawah, di mana beras kualitas sedang dijual dengan harga lebih rendah. Beras ini didistribusikan oleh Badan Urusan Logistik (Bulog).
Beras SPHP dijual di pasar tradisional, toko ritel modern, dan outlet Bulog dan pemerintah daerah dengan harga Rp10.900 (US$0,69) per kilogram di zona 1, Rp11.500 (US$0,73) per kilogram di zona 2, dan Rp11.800 (US$0,75) di zona 3.
Tahun ini, masalah kenaikan harga beras belum reda. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), pada bulan Januari, 28 provinsi di Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara mencatat kenaikan harga beras.
Beras mengalami inflasi sebesar 0,64 persen pada Januari 2024, berkontribusi sebesar 0,03 persen terhadap inflasi utama.
Komoditas pangan, termasuk beras, gula, daging, dan telur, termasuk dalam kategori komoditas dengan harga yang fluktuatif.
Pemerintah telah melakukan upaya untuk mengendalikan harga beras dan inflasi, termasuk dengan memperpanjang pemberian bantuan beras.
Program bantuan beras ini menggunakan cadangan beras pemerintah (CBP) sesuai dengan amanat Peraturan Pemerintah Nomor 125 Tahun 2022 tentang Pengelolaan Cadangan Beras Pemerintah.
Kepala Badan Ketahanan Pangan Nasional (Bapanas) Arief Prasetyo Adi mengatakan pada 22 Januari 2024, bahwa lebih dari 89 juta orang berpendapatan rendah telah mendapatkan manfaat dari distribusi bulanan bantuan beras oleh pemerintah.
Menurut Adi, distribusi bantuan beras kemungkinan akan dilanjutkan hingga Juni dan akan ditujukan untuk 22 juta keluarga penerima manfaat.
Jumlah tersebut sekitar 8 persen lebih tinggi dibandingkan dengan tahun 2023, disesuaikan dengan data Sasaran Pemberantasan Kemiskinan Ekstrem (P3KE) yang dikelola oleh Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan.
Total jumlah keluarga penerima manfaat adalah 22.004.077 yang terdiri dari 6.878.649 keluarga decile 1, 7.474.796 keluarga decile 2, dan 7.650.632 keluarga decile 3.
Upaya pemerintah untuk menanggapi kenaikan harga barang kebutuhan pokok tidak hanya melibatkan distribusi bantuan pangan, tetapi juga mencakup pemberian bantuan sosial, seperti bantuan tunai untuk meningkatkan daya beli masyarakat dan membantu mereka memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Bantuan tunai sebesar Rp200 ribu (sekitar US$12,71) per bulan diberikan selama tiga bulan pertama tahun 2024 untuk mengurangi risiko terkait pangan. Bantuan ini ditargetkan untuk 18,8 juta keluarga penerima manfaat.
Bantuan tunai diharapkan dapat menjadi pelindung bagi orang miskin agar tidak kehilangan daya beli mereka di tengah kenaikan harga pangan karena lebih dari 60 persen pengeluaran orang miskin adalah untuk makanan.
Meskipun pemberian bantuan pangan dan sosial bukanlah cara utama untuk menciptakan stabilitas harga dan inflasi, seorang peneliti dari Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Eliza Mardian, menyatakan bahwa pemerintah juga harus mengendalikan inflasi dengan memastikan pasokan pangan yang cukup serta distribusi yang aman.
Selain itu, terobosan dan kebijakan baru juga dianggap sebagai solusi jangka panjang yang penting untuk mengatasi kemiskinan struktural. Hal ini bertujuan untuk mendukung masyarakat berpendapatan rendah agar tidak selamanya bergantung pada bantuan pemerintah.
Diversifikasi pangan
Pada tahun ini, Kementerian Keuangan telah meningkatkan anggaran perlindungan sosial menjadi Rp493,5 triliun (sekitar US$31,35 miliar). Anggaran tersebut telah dialokasikan untuk menjaga daya beli masyarakat di tengah volatilitas harga pangan.
Kementerian Keuangan juga telah mengalokasikan anggaran sebesar Rp114,3 triliun (sekitar US$7,26 miliar) untuk tahun 2024 guna mengendalikan harga pangan nasional.
Meskipun ada anggaran khusus untuk melindungi masyarakat, tetap diperlukan upaya lain oleh pemerintah, salah satunya adalah diversifikasi pangan.
Direktur program di Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Esther Sri Astuti, mengatakan bahwa strategi diversifikasi pangan adalah salah satu kunci untuk mengatasi lonjakan harga beras.
\”Saran konkret untuk mengurangi tekanan ekonomi akibat kenaikan harga beras, saya rasa kita tidak harus makan beras, ada banyak sumber karbohidrat selain beras, seperti singkong dan sorgum. Oleh karena itu, saran konkretnya adalah diversifikasi pangan,\” jelas Astuti.
Menurutnya, diversifikasi pangan memiliki potensi untuk menciptakan stabilitas pasokan pangan dan mengurangi risiko inflasi yang bisa muncul seiring dengan kenaikan harga beras.
\”Oleh karena itu, perlu adanya diversifikasi pangan agar ketika terjadi kenaikan harga beras, kita bisa lebih tenang,\” katanya.
Indonesia kaya akan berbagai jenis tanaman yang dapat digunakan sebagai bahan makanan pokok.
Maka dari itu, pemerintah dapat meningkatkan kampanye untuk mempromosikan sumber karbohidrat lainnya seperti jagung, singkong, sorgum, ubi jalar, dan sagu.
Berita terkait: Bapanas mengoptimalkan penggunaan millet sebagai sumber makanan alternatif
Berita terkait: Menteri Dalam Negeri promosikan diversifikasi pangan untuk mengurangi ketergantungan pada beras
Editor: Rahmad Nasution
Hak Cipta © ANTARA 2024