Rabu, 5 November 2025 – 22:24 WIB
Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI) kembali menekankan pentingnya sinkronisasi antara Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman. Tujuannya agar regulasi di bidang penyiaran dan perfilman bisa berjalan selaras di era konvergensi digital.
Baca Juga:
UU Penyiaran Dinilai Ketinggalan Zaman, DPR dan KPI Sepakat Harus Segera Dibenahi
Pesan ini disampaikan Sekretaris Jenderal ATVSI, Gilang Iskandar, dalam acara “Jaring Masukan untuk Penyusunan Matriks Usulan Revisi UU Perfilman” yang diadakan Lembaga Sensor Film (LSF) di Jakarta, Rabu (5/11). Gilang hadir sebagai narasumber untuk memberi pandangan lembaga penyiaran televisi terkait revisi kebijakan perfilman nasional dalam UU Perfilman.
Dua Undang-Undang, Dua Regulator, Satu Objek
Baca Juga:
ATVSI Gelar FGD di Tiga Kota untuk Siapkan Masukan Revisi UU Penyiaran
Dalam paparannya, Gilang menjelaskan bahwa saat ini konten yang disiarkan stasiun televisi diatur dan diawasi oleh dua undang-undang sekaligus, yaitu UU No. 32/2002 tentang Penyiaran (oleh Komisi Penyiaran Indonesia/KPI) dan UU No. 33/2009 tentang Perfilman (oleh Lembaga Sensor Film/LSF).
Kedua undang-undang ini mengatur objek yang sama, yaitu produk film dan iklan yang tayang di televisi. Namun, mekanisme pengawasan dan pelaksanaanya sering berjalans secara terpisah dan tumpang tindih.
Baca Juga:
ATVSI Dukung Komisi I DPR Tuntaskan Revisi UU Penyiaran yang Tertunda 13 Tahun
“Akibatnya, untuk objek film dan iklan yang sama, terjadi dua kali proses pengawasan dan penilaian. Secara preventif, film atau iklan harus disensor LSF dulu untuk dapat Surat Tanda Lulus Sensor (STLS). Tapi, saat atau setelah tayang, program itu tetap bisa kena sanksi dari KPI kalau dianggap melanggar Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS),” jelas Gilang.
Kondisi ini, lanjutnya, menciptakan “double regulatory gate” atau dua pintu pengawasan yang memberatkan stasiun televisi.
Ketidakpastian Regulasi dan Ketimpangan dengan Platform Digital
Sekjen ATVSI menegaskan, adanya dua mekanisme pengawasan untuk objek sama menimbulkan ketidakpastian hukum bagi lembaga penyiaran televisi.
“Bayangkan, film atau iklan yang sudah dinyatakan layak tayang oleh LSF lewat STLS, tetap bisa dipersoalkan bahkan diberi sanksi oleh KPI. Ini bikin tidak pasti dan tidak efisien dalam produksi dan distribusi konten siaran,” paparnya.
Halaman Selanjutnya
Menurut Gilang, tumpang tindih regulasi ini juga bisa menghambat kreativitas dan inovasi konten, karena produsen konten siaran menjadi takut untuk berkreasi. “Di sisi lain, platform digital yang menayangkan konten serupa tidak melalui mekanisme sensor atau pengawasan yang sama. Hal ini menciptakan ketidakadilan regulasi di era konvergensi media sekarang,” tambahnya.