Antisipasi Isi Perjanjian Pertahanan Indonesia–Australia yang Akan Datang

Bogor, Jawa Barat (ANTARA) – Pada hari Rabu, 12 November 2025, Perdana Menteri Australia Anthony Albanese, bersama dengan presiden Indonesia Prabowo Subianto, mengumumkan kesimpulan substansial dari negosiasi untuk perjanjian pertahanan baru yang bersejarah antara kedua negara.

Meskipun rincian lengkap perjanjian, yang diharapkan akan ditandatangani pada bulan Januari tahun depan, belum diumumkan ke publik, PM Albanese menjelaskan aspek intinya.

Dia menyatakan bahwa kesepakatan baru ini akan mewajibkan Australia dan Indonesia untuk berkonsultasi secara teratur di tingkat pemimpin dan menteri mengenai masalah keamanan, mengidentifikasi dan melakukan kegiatan keamanan yang saling menguntungkan, dan, jika keamanan salah satu atau kedua negara terancam, untuk berkonsultasi dan mempertimbangkan langkah-langkah apa yang dapat diambil—baik secara individu maupun bersama—untuk mengatasi ancaman tersebut.

Perjanjian baru ini sangat mengingatkan pada perjanjian keamanan bersejarah yang ditandatangani pada masa pemerintahan Soeharto dan Keating pada tahun 1995, yang kemudian dibatalkan setelah krisis Timor Timur.

Tiga elemen sentral dari perjanjian baru ini sangat mirip dengan ketentuan utama Perjanjian 1995, yang mencakup komitmen untuk berkonsultasi secara rutin tentang hal-hal yang mempengaruhi keamanan bersama, untuk berkonsultasi dan mempertimbangkan tindakan bersama atau individu dalam menghadapi tantangan terhadap salah satu pihak, dan untuk mempromosikan kegiatan kerjasama yang saling menguntungkan di bidang keamanan.

Jelas bahwa perjanjian pertahanan yang akan datang ini merupakan upaya untuk menghidupkan kembali semangat Perjanjian 1995, suatu periode yang sering dianggap sebagai salah satu fase terhangat dalam hubungan Indonesia–Australia. Waktu pengumuman ini menegaskan bahwa hubungan bilateral antara Jakarta dan Canberra saat ini berada di titik tertinggi yang pernah ada.

Dengan kedua negara menghadapi lingkungan geopolitik yang semakin kompleks yang ditandai dengan meningkatnya ketegangan dalam sengketa wilayah regional dan persaingan yang berkembang antara Amerika Serikat dan China, sudah saatnya bagi Indonesia dan Australia untuk memperkuat kerjasama pertahanan mereka agar lebih mampu memberikan respons kolektif terhadap tantangan keamanan regional bersama.

MEMBACA  4 Hal yang Dilakukan Apple Maps Lebih Baik dari Google Maps

Namun, harus dipahami bahwa perjanjian yang akan datang ini bukanlah perjanjian pertahanan bersama. Baik PM Albanese maupun Presiden Prabowo tidak menyebutkan klausul pertahanan bersama, dan mengingat kebijakan luar negeri Indonesia yang "bebas dan aktif", sangat tidak mungkin Jakarta akan berkomitmen pada aliansi militer formal apa pun.

Meski begitu, pentingnya perjanjian ini tidak boleh diremehkan. Fakta bahwa kedua negara berkomitmen untuk berkonsultasi dan mempertimbangkan kemungkinan tindakan—baik secara individu maupun bersama—sebagai respons terhadap ancaman keamanan patut dicatat.

Ini menandakan bahwa Indonesia dan Australia semakin berniat untuk mengatasi tantangan keamanan regional bersama-sama, membuka pintu bagi kerjasama yang lebih dalam dan, jika keadaan menuntutnya, bahkan respons yang terkoordinasi.

Kerangka konsultasi dan tindakan bersama yang potensial ini memiliki kemiripan dengan Five Power Defence Arrangements (FPDA), yang mendasari kerjasama pertahanan Australia dengan Malaysia dan Singapura, yang keduanya adalah sesama anggota Persemakmuran.

Sementara perjanjian ini dapat dilihat sebagai "momen bersejarah" dalam hubungan Indonesia–Australia, diperlukan sedikit kehati-hatian terhadap sikap yang terlalu optimis. Di luar tidak adanya komitmen pertahanan bersama, perjanjian ini tidak mungkin menandakan adanya keselarasan besar Indonesia terhadap Australia atau Barat secara lebih luas.

Sejak menjabat pada Oktober tahun lalu, Presiden Prabowo Subianto telah menjalankan kebijakan luar negeri yang terdiversifikasi yang melibatkan kekuatan barat dan timur.

Ini termasuk pendalaman hubungan pertahanan dengan China dan Rusia. Baru-baru ini, muncul berita bahwa Jakarta berpotensi membeli kapal rudal, fregat, dan pesawat tempur dari China, meskipun Beijing menimbulkan ancaman keamanan potensial di Laut Natuna Utara.

Pada saat yang sama, Jakarta dan Moskow terus menjaga hubungan hangat di bidang pertahanan, dengan kedua negara akan mengadakan latihan angkatan laut besar Orruda 2026 di lepas pantai Rusia Timur Jauh. Semua ini menyoroti bahwa meskipun ada perjanjian pertahanan bersejarah yang akan datang antara Indonesia dan Australia, hal itu tidak boleh disalahartikan sebagai tanda pergeseran besar dalam orientasi strategis Indonesia.

MEMBACA  Pelayanan Masyarakat yang Luar Biasa

Sebaliknya, yang benar-benar diwakili oleh perjanjian ini adalah keadaan hubungan yang sangat baik antara Indonesia dan Australia, terutama di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo.

Pada tahun 2024, saat menjabat sebagai Menteri Pertahanan, Prabowo menandatangani Perjanjian Kerjasama Pertahanan Indonesia–Australia yang bersejarah, yang mencerminkan semakin dekatnya hubungan antara lembaga pertahanan kedua negara.

Jelas bahwa baik Presiden Prabowo maupun PM Albanese berkomitmen untuk mempertahankan dan memperdalam hubungan ini, dengan perjanjian yang akan datang—yang rencananya akan ditandatangani pada bulan Januari—akan meningkatkan kerjasama bilateral ke level yang baru.

*) Muhammad Teguh Ariffaiz Nasution adalah peneliti pertahanan dan keamanan di The Horizon Indonesia. Dia lulus dengan gelar Magister Studi Strategis dari The Australian National University.

Pandangan dan opini yang diungkapkan di halaman ini adalah milik penulis dan tidak necessarily mencerminkan kebijakan atau posisi resmi dari ANTARA News Agency.

Copyright © ANTARA 2025