Wakil Menteri Kesehatan Dante Saksono Harbuwono menekankan pentingnya mahasiswa universitas memiliki keterampilan adaptasi yang penting untuk dapat menjaga kesehatan mental mereka saat mengejar pendidikan tinggi.
Dalam sebuah pernyataan yang diterima di sini pada hari Rabu, Harbuwono menyatakan bahwa pendidikan tinggi memiliki dinamika yang cepat, dan tuntutan adaptasi adalah salah satu faktor yang menyebabkan penurunan kesehatan mental di kalangan mahasiswa. Dia menyampaikan pernyataan tersebut saat menyambut mahasiswa baru di Universitas Indonesia.
Merujuk pada teori Darwin, wakil menteri tersebut menegaskan bahwa adaptasi itu penting, karena merekalah yang paling baik beradaptasi yang akan bertahan hidup, bukan selalu orang-orang yang paling pintar atau kuat.
Harbuwono menyoroti kurva W, yang menggambarkan perubahan psikologis mahasiswa baru.
“Secara umum, mahasiswa baru akan mengalami Kurva W, dimulai dengan fase bulan madu, kejutan budaya, adaptasi awal, isolasi mental, dan kemudian penerimaan dan integrasi,” jelasnya.
Ia menekankan bahwa rentang usia mahasiswa universitas, yaitu 18-22, sering disebut sebagai waktu di mana mereka mencari identitas dan menghadapi situasi yang penuh dengan tantangan dan pengaruh yang akan membentuk kondisi mental mereka.
Oleh karena itu, wakil menteri menegaskan bahwa memahami pentingnya menjaga kesehatan mental sangat penting untuk memastikan bahwa studi mereka berjalan lancar. Dia menegaskan bahwa kesehatan mental yang baik akan meningkatkan kinerja akademis, kualitas hidup, dan kehidupan sosial.
Harbuwono juga memberi tahu mahasiswa untuk mengelola stres mereka dengan mengenali tanda-tanda stres, terlibat dalam aktivitas yang menenangkan, terlibat dalam aktivitas fisik, dan berbagi masalah mereka dengan teman dan anggota keluarga mereka atau dengan berkonsultasi dengan profesional.
Dalam pernyataan yang sama, direktur jenderal pendidikan tinggi, penelitian, dan teknologi di Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Abdul Haris menyatakan bahwa tantangan saat ini adalah tingginya jumlah orang terdidik yang menganggur.
Ia menunjukkan bahwa sekitar 945.413 orang, atau 11,8 persen dari total lulusan, menganggur.
Haris menyatakan bahwa dengan munculnya otomatisasi dan kecerdasan buatan, antara lain, hal-hal yang sebelumnya tidak terpikirkan akan menjadi lebih umum. Oleh karena itu, dia menekankan perlunya mahasiswa baru tetap adaptif untuk bertahan.