Budidaya ikan nila di danau dapat mencemari lingkungan, kata menteri

Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono mengatakan bahwa prevalensi tinggi budidaya ikan nila di danau atau waduk bisa merusak ekosistem dan mencemari air, yang dapat berdampak pada kualitas hasil panen ikan.

Ia mencatat bahwa budidaya ikan nila umum di danau atau waduk di Indonesia karena pangsa pasar yang tinggi mencapai 1,3 ton per tahun dengan tingkat serapan domestik 90 persen.

“Jika kita menghentikan budidaya ikan di danau atau waduk, itu akan memicu reaksi. Bahkan, jika terus berlanjut, itu bisa mencemari lingkungan, yang juga akan berdampak pada kualitas ikan yang dihasilkan,” katanya di sini pada hari Rabu.

Ia mencatat bahwa nila juga memiliki pangsa pasar tinggi di luar negeri. Berdasarkan data Future Market Insight, nilai pasar dunia nila pada 2024 diproyeksikan mencapai US$14,46 miliar dan meningkat menjadi US$23,02 miliar pada 2034.

Trenggono mencatat bahwa untuk meminimalkan kegiatan budidaya di danau, kementeriannya telah merancang strategi yang melibatkan pembangunan proyek model, salah satunya adalah model budidaya ikan nila tahan salinitas di Karawang, Jawa Barat, di atas lahan seluas 80 hektar.

Keberhasilan model budidaya ikan nila diharapkan dapat mendorong upaya untuk memindahkan kegiatan budidaya dari danau dan waduk ke daratan.

Produktivitas model budidaya ikan nila tahan salinitas telah mencapai 7.020 ton per tahun, atau Rp196,5 miliar (sekitar US$11,92 juta), dengan asumsi harga jual Rp28 ribu (sekitar US$1,71) per kilogram. Produksi direncanakan akan ditingkatkan menjadi 10 ribu ton per tahun.

Kegiatan budidaya ikan nila tahan salinitas di Karawang, lanjutnya, didukung oleh teknologi ramah lingkungan. Kementerian telah menyiapkan instalasi pengelolaan limbah, mesin pakan otomatis, dan peralatan pengukur kualitas air untuk mendukung kualitas ikan nila.

MEMBACA  Menemui Sayyid Ahmad bin Muhammad Al Maliki, Gus Addin Dilengkapi dengan 14 Kitab

Metode dan teknologi yang digunakan dalam model budidaya dapat direplikasi di berbagai daerah di Indonesia.

Dalam hal ini, ia menyatakan optimisme bahwa pemindahan akan lebih mudah karena para petani akan memiliki cara untuk melanjutkan bisnis mereka.