Skandal Korupsi di Kalangan Elite Politik Israel
Benjamin Netanyahu merupakan perdana menteri petahana pertama di Israel yang harus menghadapi pengadilan setelah dituduh melakukan korupsi, namun ia jelas bukan satu-satunya yang terjerat skandal serupa.
Hampir semua perdana menteri Israel sejak 1996, termasuk Ehud Barak, Ariel Sharon, dan Ehud Olmert, di samping Netanyahu, telah diselidiki atas tuduhan korupsi. Begitu pula sejumlah menteri kabinet, anggota Knesset, dan walikota.
Berikut ini adalah gambaran umum skandal korupsi besar di Israel selama dua dekade terakhir.
Benjamin Netanyahu
Perdana menteri petahana Israel ini didakwa dalam tiga kasus—yang dikenal sebagai “1000”, “2000”, dan “4000”—atas tuduhan penyuapan, penipuan, dan penyalahgunaan kepercayaan. Kasus-kasus ini melibatkan dugaan penerimaan hadiah tidak sah dan pertukaran fasilitas regulasi untuk pemberitaan media yang positif.
Pengadilannya masih berlangsung. Netanyahu mengakui menerima hadiah namun menyangkal bahwa imbalan apa pun diberikan sebagai balasannya.
Pada Minggu, 30 November, kantor Presiden Isaac Herzog mengonfirmasi bahwa Netanyahu mengajukan permohonan grasi resmi. Dalam permohonannya, Netanyahu menyatakan bahwa pengadilan yang sedang berjalan memperdalam perpecahan bangsa, terlebih di tengah serangkaian aksi militernya terhadap negara-negara tetangga di Timur Tengah.
Ehud Olmert
Ehud Olmert, mantan perdana menteri yang menjabat dari 2006 hingga 2009, menghadapi serangkaian dakwaan atas pelanggaran selama masa jabatannya sebagai Menteri Perdagangan, Menteri Komunikasi, dan Menteri Keuangan.
Olmert mengundurkan diri pada 2008—tetap menjabat sementara selama beberapa bulan—sebelum ia sempat didakwa secara resmi. Hal ini terjadi setelah seorang pengusaha AS, Morris Talansky, memberikan kesaksian bahwa ia memberikan amplop berisi uang tunai kepada Olmert pada tahun 1990-an untuk kebutuhan politik dan pribadi.
Olmert divonis bersalah atas penyalahgunaan kepercayaan pada Juli 2012, penyuapan pada Maret 2014, dan lagi atas penyalahgunaan kepercayaan pada Maret 2015. Hukumannya yang semula enam tahun dipotong menjadi 18 bulan pada Desember 2015.
Ariel Sharon
Ariel Sharon, mantan perdana menteri dari Maret 2001 hingga April 2006, diselidiki atas dugaan penyuapan dimana pengembang properti dan pengusaha asing disebut-sebut mencari fasilitas politik darinya dan putra-putranya sebagai imbalan atas keuntungan finansial.
Meskipun ada rekomendasi untuk mendakwa beberapa rekanannya, penuntut pada akhirnya tidak menuntut Sharon sendiri dengan alasan bukti yang tidak cukup.
Namun, putranya, Omri Sharon, menjalani hukuman penjara karena penggalangan dana ilegal yang terkait dengan kampanye politik ayahnya.
Ezer Weizman
Ezer Weizman, yang menjabat sebagai Presiden Israel dari 1993 hingga 2000 setelah pensiun sebagai Panglima Angkatan Udara dan Menteri Pertahanan, menghadapi tuduhan penipuan dan penyalahgunaan kepercayaan karena menerima hadiah uang tunai dalam jumlah besar—lebih dari $300.000 dari seorang pengusaha Prancis—saat ia masih menjabat sebagai anggota parlemen dan menteri.
Weizman mengundurkan diri dari kepresidenan pada tahun 2000 untuk menghindari penuntutan hukum.
Meskipun penuntut menyatakan bahwa Weizman telah menerima uang tersebut, ia tidak pernah secara resmi didakwa atau diadili karena kedaluwarsa (kadaluarsa) tuntutan hukum telah berlaku saat penyelidikan selesai.
Aryeh Deri
Aryeh Deri, salah satu pendiri partai politik Shas yang menjabat sebagai Wakil Perdana Menteri di bawah Netanyahu dari Desember 2022 hingga Januari 2023, telah dua kali divonis karena korupsi.
Pada 1999, ia divonis karena penyuapan, penipuan, dan penyalahgunaan kepercayaan. Pada 2022, ia menghadapi dakwaan atas pelanggaran perpajakan.
Ia menjalani hukuman penjara hampir dua tahun untuk vonis pertama. Untuk yang kedua, ia menandatangani kesepakatan pengakuan bersalah (plea deal) pada 2022 dan mengundurkan diri dari parlemen untuk menghindari hukuman penjara.
Meski demikian, PM Netanyahu menunjuknya sebagai Menteri Dalam Negeri dan Kesehatan, dan parlemen mengesahkan yang disebut "UU Deri" pada 2022 yang membatasi kemampuan Mahkamah Agung Israel untuk mengkaji "kewajaran" (reasonableness) keputusan pemerintah.
Pada 2023, Mahkamah Agung mendiskualifikasinya dari jabatan menteri dengan alasan "ketidakwajaran yang ekstrem" karena vonis penggelapan pajaknya.