Pemerintah Indonesia terus melakukan upaya untuk memperkuat peluang harga karbon di Indonesia.
"Indonesia telah mengambil langkah berani dan strategis untuk memperkuat peluang penetapan harga karbon di Indonesia," ujar Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofiq pada Konferensi Perubahan Iklim PBB (COP30) di Belem, Brasil, pada Selasa (11 November).
Dia mengatakan bahwa pemerintah membentuk kerangka tata kelola yang solid dan bermitra dengan beberapa skema kredit independen melalui Perjanjian Pengakuan Bersama (MRA), termasuk Gold Standard, Plan Vivo, Global Carbon Council (GCC), Verra, dan Puro Earth. Ini merupakan bagian dari upaya untuk mendukung penetapan harga karbon.
Dia juga menyambut baik hasil dari sesi Seller Meet Buyer (SMB) perdana yang diadakan di Paviliun Indonesia pada hari Selasa (11 November).
Pada pertemuan SMB tersebut, PT Pertamina berhasil menjual 37.000 ton karbon, senilai Rp2,5 miliar (sekitar 149 ribu dolar AS) kepada Bank Mandiri dan CIMB Niaga.
"Melalui konferensi iklim global (COP30), kami memanfaatkannya sepenuhnya untuk membangun kepercayaan pasar dengan menjadi tuan rumah sesi Seller Meet Buyer. Dengan cara ini, upaya promosi kami akan lebih dikenal luas," kata Nurofiq.
Pemerintah Indonesia mentargetkan transaksi hingga 90 juta ton CO2, senilai Rp16 triliun (sekitar 956 juta dolar AS), dari perdagangan karbon selama COP30.
Perdagangan karbon akan fokus pada tiga sektor utama: energi, Kehutanan dan Penggunaan Lahan Lainnya (FOLU), serta limbah.
Melalui inisiatif FOLU Net Sink 2030, Indonesia bertujuan untuk memastikan penyerapan karbon dari hutan dan lahan melebihi emisi, dengan target penyimpanan 140 juta ton CO2-e pada tahun 2030 melalui upaya restorasi dan konservasi.
Pemerintah terus merestorasi ekosistem mangrove dan lahan gambut sembari menekan deforestasi, yang telah menunjukkan penurunan yang konsisten. Hal ini meningkatkan penyerapan karbon dan stabilitas lingkungan di seluruh negeri.