Menteri Luar Negeri Mesir menyatakan bahwa negaranya berkoordinasi dengan Qatar dan Turkiye untuk membujuk Hamas agar menerima proposal Presiden Amerika Serikat Donald Trump guna mengakhiri perang Israel di Gaza yang telah berlangsung hampir dua tahun. Ia memperingatkan bahwa konflik akan meningkat jika kelompok Palestina tersebut menolak.
Dalam pidatonya di Institut Hubungan Internasional Prancis di Paris pada Kamis, Badr Abdelatty menegaskan bahwa Hamas harus melucuti senjata dan Israel tidak boleh diberi alasan untuk melanjutkan serangannya di Gaza.
"Jangan beri kesempatan pada satu pihak untuk menggunakan Hamas sebagai dalih pembunuhan warga sipil secara membabi buta ini. Apa yang terjadi sudah jauh melampaui peristiwa 7 Oktober," ujarnya, merujuk pada serangan kelompok Palestina terhadap Israel tahun 2023 yang menurut catatan Israel menewaskan 1.129 orang.
Kementerian Kesehatan Palestina menyatakan bahwa ofensif Israel di Gaza telah menewaskan lebih dari 66.000 orang, sebagian besar perempuan dan anak-anak, meskipun para ahli meyakini angka sebenarnya mungkin tiga kali lebih tinggi.
"Ini bukan lagi balas dendam. Ini adalah pembersihan etnis dan genosida yang berlangsung. Jadi, sudah cukup," tegas Abdelatty.
Awal pekan ini, Gedung Putih merilis dokumen 20 poin yang menyerukan gencatan senjata segera, pertukaran tahanan yang dipegang Hamas dengan tahanan politik Palestina di Israel, penarikan bertahap Israel dari Gaza, pelucutan senjata Hamas, serta pemerintahan transisi yang dipimpin badan internasional.
Pada Selasa, Trump memberi Hamas waktu tiga hingga empat hari untuk menyetujui rencana tersebut.
Meskipun warga Palestina mendambakan akhir perang, banyak yang menilai rencana ini sangat menguntungkan Israel. Seorang pejabat Hamas kepada Associated Press menyatakan beberapa unsur proposal tidak dapat diterima, tanpa memberikan rincian lebih lanjut.
Dalam negosiasi sebelumnya, Hamas bersikeras pada penarikan penuh Israel dari Jalur Gaza yang dilanda kelaparan dan mengupayakan gencatan senjata permanen dengan jaminan kembalinya pengungsi ke rumah mereka, terutama di utara Gaza dimana serangan Israel justru semakin intensif.
Banyak ‘Lubang yang Perba Diisi’
Qatar dan Mesir, sebagai mediator kunci, menyatakan bahwa proposal Trump memerlukan negosiasi lebih lanjut mengenai unsur-unsur tertentu.
Abdelatty mengungkapkan Kairo berkoordinasi dengan Qatar dan Turkiye untuk membujuk Hamas merespons positif rencana tersebut, meski ia tetap bersikap sangat hati-hati.
"Jika Hamas menolak, situasi akan menjadi sangat sulit. Tentu saja eskalasi akan meningkat. Karenanya kami melakukan upaya intensif untuk membuat rencana ini dapat diterapkan dan mendapatkan persetujuan Hamas," paparnya.
Meski mendukung proposal Trump untuk Gaza, Abdelatty menekankan perlunya pembahasan lebih lanjut.
"Ada banyak lubang yang perlu diisi; kita butuh diskusi lebih lanjut tentang implementasinya, terutama mengenai dua isu penting – tata kelola dan pengaturan keamanan," jelasnya. "Kami mendukung rencana Trump dan visi untuk mengakhiri perang serta perlunya bergerak maju."
Menanggapi pertanyaan apakah ia khawatir rencana Trump dapat menyebabkan pengusiran paksa warga Palestina, Abdelatty menegaskan Mesir tidak akan menerimanya.
"Pemindahan penduduk tidak akan terjadi, karena itu berarti akhir dari perjuangan Palestina," tegasnya. "Kami tidak akan mengizinkan hal ini terjadi dalam keadaan apapun."
Sementara itu, Gedung Putih menyatakan Trump berharap Hamas menerima proposal Gaza-nya, dengan menekankan bahwa presiden AS dapat memberlakukan konsekuensi jika kelompok tersebut menolak.
Sejak perang Israel di Gaza dimulai, AS sering mendorong proposal yang mendukung Israel namun kecil kemungkinan mendapat dukungan Palestina, lalu menyalahkan Hamas sebagai penghalang utama penghentian konflik.
"Ini adalah batasan yang harus ditetapkan Presiden Amerika Serikat, dan saya yakin beliau akan melakukannya," ujar Juru Bicara Gedung Putih Karoline Leavitt dalam wawancara dengan Fox News.
Di sisi lain, Kaja Kallas, Kepala Kebijakan Luar Negeri Uni Eropa, menyerukan Hamas untuk menerima proposal tersebut.
"Kami mendesak Hamas mengikuti rencana, membebaskan semua sandera yang masih ditahan, dan meletakkan senjata. UE menyerukan kepada pihak-pihak yang memiliki pengaruh untuk menyampaikan pesan ini kepada Hamas," bunyi pernyataan resmi.
Sementara itu, Presiden Vladimir Putin menyatakan Rusia bersedia mendukung rencana tersebut, namun hanya jika mengarah pada solusi dua negara.
Jean-Noel Barrot, Menteri Luar Negeri Prancis, menyatakan Hamas "telah kalah".
Menurut rencana tersebut, anggota Hamas yang berkomitmen pada koeksistensi damai dan melepaskan senjata akan diberi amnesti, sementara mereka yang ingin meninggalkan Gaza akan dijamin keamanannya ke negara penerima.
"Hamas memikul tanggung jawab sangat berat atas bencana yang dialami rakyat Palestina," kata Barrot kepada kantor berita AFP. "Mereka harus menerima penyerahan diri mereka sendiri."
Para ahli menilai langkah ini mengingatkan pada upaya Barat sebelumnya untuk membentuk kembali Timur Tengah tanpa melibatkan pihak lokal.
"Dengan perjanjian ini, jelas bahwa yang mereka sajikan adalah formula yang pernah diterapkan di Irak, dan menurut saya mereka gagal total," ujar analis politik Xavier Abu Eid kepada Al Jazeera.
Abu Eid mencatat bahwa keterlibatan tokoh seperti Tony Blair, yang bergabung dengan perang AS di Irak saat menjabat sebagai Perdana Menteri Inggris tahun 2003, dalam proposal Trump menjadi perhatian banyak pihak di kawasan.
"Fakta bahwa mereka mencoba melibatkan sekelompok orang asing yang dipimpin oleh seseorang dengan sejarah kelam di kawasan kami, seperti Tony Blair, bukanlah hal yang akan disambut antusias," pungkasnya.