Peter Cappelli bilang ke Fortune lewat Zoom, soal buku barunya yang judulnya "In Praise of the Office". Dia bilang, "Rasanya ini agak gila aja." Lima tahun terakhir ini perjalanannya panjang banget—dari kerja full remote, terus gak jelas, sampe banyak perusahaan besar yang maksa karyawan balik ke kantor lima hari seminggu.
Cappelli ngotot kalo dia dan co-authornya, Ranya Nehmeh, dari awal udah tau apa yang bakal mereka temuin. Dia profesor di Wharton School, dan Nehmeh ngajar di sebuah universitas di Wina. "Kami berdua juga kerja remote," akunya, tapi dia punya pengalaman 40 tahun. "Saya sih gak perlu di kantor… tapi saya juga liat betapa parahnya situasi sekarang karena orang kayak saya gak ada di kantor. Karena kami gak ada, anak-anak muda juga pada gak dateng, jadinya kantor sepi."
Dia bilang, jelas banget ini merugikan organisasinya. "Buat saya sih oke!" katanya, "tapi buruk buat yang lain."
Kekhawatiran untuk Masa Depan
Mereka bilang ke Fortune bahwa kerja remote jadi "makin bermasalah dari waktu ke waktu." Memang wajar sih sistem ini bertahan, soalnya pas pandemi dulu hasilnya bagus. "Kita gak ngarepin apa-apa, ternyata jauh lebih baik dari itu," tambahnya.
Nehmeh bilang, bahaya kerja hybrid yang gak dikelola bener keliatan dari perilaku Gen Z, yang disebutnya "sangat transaksional… Saya dateng, saya kerjain tugas, saya pulang. Gak mau terlibat hal lain." Bahkan enggak tertarik dengan aspek sosial atau budaya perusahaan.
Cappelli setuju. Dia kaget ngeliat mahasiswa yang udah terbiasa hybrid dan remote. "Mereka gak datang ke kelas," katanya, "dan mereka heran kok malah diharusin dateng." Solusinya? Dia kasih nilai jelek ke banyak mahasiswa, biar pada paham.
Nehmeh setuju ada sesuatu yang ilang di zaman kerja remote ini. Dia kasih contoh perusahaan yang sampai ngasih kelas etiket ke Gen Z, cara rapat, cara berpakaian, dan bicara sama klien. Padahal dulu, hal-hal ini dipelajari pas baru gabung di perusahaan.
Tapi, mereka berdua gak nyalahin Gen Z. Menurut penelitian mereka, masalahnya ada di tingkat yang lebih tinggi. Nehmeh bilang, survei karyawan menunjukkan masalah komunikasi yang buruk, kurang apresiasi, dan prioritas yang gak jelas jadi makin parah. Kalo organisasi cuek sama masukan ini, "jurang antara pemimpin dan karyawan makin lebar. Hasilnya ya jadi gak peduli dan frustasi."
Cappelli lebih blak-blakan. Setidaknya di AS, masalahnya sederhana: "Manajemennya jadi semakin jelek." Mereka kasih tiga alasan kenapa sekarang saatnya kita stop kerja remote.
1) Benturan Budaya
Tema yang sering muncul adalah tergerusnya budaya organisasi. Di dunia hybrid, karyawan baru susah belajar dari observasi atau membangun hubungan—hal yang penting buat perkembangan karir dan biasanya butuh kedekatan fisik.
Tapi itu baru permukaannya aja. Efeknya turun ke karyawan level menengah dan senior, yang jadi makin terlepas dari pekerjaannya karena kerja cuma dilihat dari yang keliatan di layar, bukan di kehidupan nyata.
Nehmeh bilang karyawan baru susah di lingkungan hybrid ini, karena mereka gak bisa belajar dari contoh dan gak dapet bimbingan. Mereka juga cerita soal "ping" yang dikenal semua pekerja remote.
Bayangin karyawan junior yang butuh bantuan, kata Nehmeh: "Harus janjian telepon dulu, harus ping seseorang, mereka mungkin gak balas kalo gak kenal kamu… Banyak masalahnya."
2) Semuanya Jadi Transaksi
Akibat lain dari tergerusnya budaya, kata Cappelli, adalah kerja remote bikin orang memandang pekerjaannya lebih sempit. Kerja direduksi jadi sekadar indikator kinerja atau KPI. Garis antara aturan dan semangat kerja jadi kabur.
Masalahnya dimulai pas pandemi, kata dia, ketika atasan disuruh buat meminta pertanggungjawaban karyawan. Karena semua kerja remote, solusi termudah ya fokusin ke KPI.
Cappelli bayangin dunia yang penuh KPI ketat dan ping terus-terusan. Tapi masalahnya, orang yang kamu ping juga punya KPI mereka sendiri-sendiri. Kalau kamu mau bantuan dari seseorang, kamu harus ‘ping’ mereka. Kamu kasih ‘ping’ dan, tau lah, mereka dapat pesannya, tapi itu masuk ke bagian paling bawah dari tugas mereka.
Dia bilang mereka udah ngadain 38 grup diskusi terpisah, total 760 orang, dan banyak yang jawab kalo mereka akan lihat ‘ping’ mereka setelah selesaiin kerjaan mereka sendiri.
Cappelli bilang ini kelihatannya kecil tapi dia pikir ini perubahan besar yang beneran pengaruh ke manajemen kinerja. Kantor dulu kan melibatkan hubungan sosial, sedangkan dunia ‘ping’ dan KPI sekarang ini membuat semuanya jadi seperti transaksi aja.
3) Masalah rapat yang bikin produktivitas turun
Mereka berargumen, semua ini nggak boleh mengurangi terobosan kerja jarak jauh di tahun 2020, tapi itu adalah solusi untuk keadaan darurat, dan masalah dalam sistemnya sekarang lebih kelihatan setelah beberapa tahun.
Penulisnya berpendapat kalo rapat Zoom, yang kelihatannya lebih efisien, sebenernya bikin pekerja kurang produktif sambil nambahin lama jam kerja mereka, artinya produktivitas per jam sebenernya turun. Cappelli bilang dia pikir rapat-rapat ini kebanyakan, durasinya terlalu lama, dan terlalu banyak orang yang nggak perhatian, matiin kameranya pas mereka mungkin lagi ngelakuin hal lain.
Cappelli minta para manajer untuk pikir ulang soal rapat yang ngabisin terlalu banyak waktu orang, penuh dengan keanehan yang sekarang kelihatan normal tapi akan terasa aneh lima tahun yang lalu. Dia bilang, akhir-akhir ini, dia dengar orang melewatkan rapat dan kirim agen AI mereka untuk catat notulen sebagai gantinya. "Mereka bahkan nggak pura-pura dengerin!"
Cappelli bilang, seiring rapat jadi lebih besar dan makin sedikit yang diselesaiin, beberapa orang malah ngadain rapat setelah rapat buat mastiin mereka masih on track. "Ini berantakan. Hal-hal itu bisa diperbaiki, kan? Tapi mereka nggak dibenerin."