Tonton: Koresponden BBC melaporkan dari China selatan yang diterjang ‘rajanya badai’
Topan Ragasa telah mendarat di China selatan, di mana hampir dua juta orang telah dievakuasi untuk mengantisipasi kedatangannya.
Hal ini terjadi setelah otoritas setempat menyatakan setidaknya 17 orang tewas dan lebih banyak lagi yang hilang di Taiwan akibat jebolnya sebuah danau pada hari Selasa, yang menyebabkan banjir parah di bagian timur pulau tersebut.
Pada hari Rabu, Ragasa diturunkan statusnya dari super topan menjadi topan parah, namun dayanya masih sangat merusak dengan kecepatan angin tertinggi 241 km/jam yang tercatat di Kabupaten Taishan, Provinsi Guangdong, China tenggara.
Setara dengan badai Kategori 5, Ragasa merupakan badai terkuat di dunia tahun ini dan telah mengamuk di atas Laut China Selatan selama beberapa hari.
Menjelang pendaratannya, 90 orang terluka di Hong Kong saat badai melintas di dekat pesisirnya, demikian dikabarkan oleh otoritas rumah sakit.
Menurut media pemerintah China, topan ini mendarat di pesisir Pulau Hailing, Kota Yanjiang, Guangdong sekitar pukul 17:00 waktu setempat (09:00 GMT) pada hari Rabu.
Badai melintas daratan dengan angin berkelanjutan 144 km/jam dan tiupan yang lebih kencang. Kecepatan angin diperkirakan akan berangsur melemah seiring pergerakan badai ke arah barat melintasi daratan, namun hujan deras dan pergerakan lambat akan melanda kawasan ini selama beberapa hari ke depan.
Kota-kota di China selatan seperti Zhuhai, Shenzhen, dan Guangzhou — semuanya terletak di Guangdong — telah bersiap untuk menghadapi intrusi air laut sejak sekitar tengah hari waktu setempat.
Di Zhuhai, polisi berpatroli dengan sirine dan pengeras suara, menginstruksikan warga untuk tetap di rumah.
Peringatan dini merah untuk tanah longsor juga dikeluarkan di wilayah pegunungan Provinsi Guangdong.
Jauh dari daratan China, otoritas di Taiwan masih menangani kerusakan yang diakibatkan oleh Ragasa, yang digambarkan pejabat setempat “jauh lebih buruk dari perkiraan”.
Perdana Menteri Cho Jung-Tai menuntut penyelidikan mengenai pelaksanaan evakuasi setelah setidaknya 17 orang meninggal dunia akibat danau pembendung, yang terbentuk dari longsoran bulan Juli, jebol di Kabupaten Hualien. Kejadian ini mengakibatkan banjir parah di Kota Guangfu. Menurut departemen pemadam kebakaran, sejumlah orang lainnya masih dinyatakan hilang.
“Kita harus menyelidiki mengapa perintah evakuasi tidak dilaksanakan di area-area yang telah diminta, sehingga menyebabkan tragedi seperti ini,” kata Cho kepada para wartawan. “Ini bukan tentang mencari kambing hitam, tetapi tentang mengungkap kebenaran.”
Lebih awal pada hari Rabu, kepala desa di Kota Dama, Taiwan, yang dihuni sekitar 1.000 orang, menyatakan bahwa seluruh desa telah terendam banjir dan banyak warga masih terputus akibat jebolnya danau pembendung Matai’an Creek.
“Sekarang kacau balau,” ujar Wang Tse-an kepada kantor berita Reuters. “Lumpur dan bebatuan ada di mana-mana. Sebagian banjir sudah surut tapi sebagian lagi masih ada.”
Tonton: Truk-truk tersapu air saat Topan Super Ragasa menghantam Taiwan
Sejumlah ahli geologi menggambarkan jebolnya bendungan tersebut sebagai “tsunami dari pegunungan”, karena diperkirakan 15,4 juta ton air — setara dengan 6.000 kolam renang ukuran Olimpiade — terlepas saat bendungan jebol.
Banjir tersebut menyapu sejumlah jembatan penting, menenggelamkan kendaraan, dan membuat lantai dasar rumah terendam air. Banyak penduduk yang terjebak di lantai atas menunggu pertolongan.
Meskipun air banjir di kota telah surut, lumpur tebal dan puing-puing masih tersisa, dan tim pencari terus melakukan pemeriksaan dari rumah ke rumah dengan harapan menemukan mereka yang hilang.
“Saya masih syok. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana ini bisa terjadi. Ini adalah salah satu area tersibuk di Hualien dan jalan-jalannya dipenuhi toko. Kami sering pergi ke tempat-tempat ini tapi semuanya hancur kemarin,” kata Awa (42), yang menjalankan toko buku bersama suaminya di Kota Guangfu, kepada BBC.
Pasangan suami istri tersebut bermalam di pusat evakuasi. Hualien adalah rumah bagi banyak suku pribumi, dan pasangan ini berasal dari komunitas Amis.
Pemerintah telah mendirikan pusat penanggulangan bencana di garis depan di Hualien, dan Kementerian Pertahanan Nasional telah mengerahkan pasukan untuk membantu upaya penyelamatan.
Typhoon Ragasa juga mengakibatkan gangguan di Hong Kong dan Filipina.
Walaupun topan tidak mendarat di Hong Kong, otoritas rumah sakit menyatakan 90 orang terluka setelah badai melintas di dekat pesisir dan melepaskan angin kencang serta hujan deras.
Observatorium Hong Kong mengeluarkan peringatan level 10 untuk badai pada hari Rabu — level tertinggi yang dapat dikeluarkan — dan mendesak warga untuk tetap berada di dalam rumah.
Penerbangan ditunda, sedangkan sekolah dan beberapa usaha ditutup. Otoritas bandara menyatakan penerbangan diperkirakan akan kembali beroperasi pada tengah malam hari Kamis.
Lebih awal pada minggu tersebut, Ragasa menerjang kepulauan terpencil di utara Filipina, mengakibatkan kota-kota tergenang, ribuan orang mengungsi, dan setidaknya delapan orang tewas.
Rekaman media sosial perlihatkan air menerjang hotel di Hong Kong
Dengan kekuatan angin mencapai 260 km/jam pada puncaknya hari Senin, Ragasa dipercaya sebagai badai paling kuat yang terjadi di dunia tahun ini.
Administrasi Meteorologi China menjuluki Ragasa sebagai “Rajanya Badai”.
Topan ini diprediksi akan lebih merusak dibandingkan topan-topan lain yang mendarat di Provinsi Guangdong, China, pada tahun ini.
Dengan tambahan pelaporan dari Ting Chiang dan Sarah Keith-Lucas.