Kunjungan ke Cleveland: Pandangan Berbeda tentang AI
Saya datang ke Cleveland, Ohio, untuk memperingati 50 tahun konvensi National Association of Black Journalists (NABJ). Saya berharap lorong-lorong dipenuhi obrolan tentang AI, dan memang begitu—tapi tidak seperti yang saya bayangkan. Dua hari pertama, frasa yang paling sering saya dengar dari sesama jurnalis adalah, "Kita harus melindungi diri sendiri." Di sesi demi sesi, konsensusnya jelas: AI adalah bahaya, ancaman, musuh yang akan menggantikan kita.
Lalu, saya sarapan di Betts, restoran di hotel saya. Satu percakapan dengan pelayan memberi saya sudut pandang baru tentang revolusi AI.
Saat mengantarkan bon, saya bertanya ke Kevin Knestrick (49) apakah ia memakai AI. Terngiang narasi menakutkan dari konvensi, saya kira ia akan menolak atau melontarkan kecaman anti-AI.
"Nggak juga," jawabnya hati-hati, lalu berhenti. "Sebenarnya," lanjutnya, "saya pakai pertama kali saat kami ganti menu. Saya foto, unggah ke ChatGPT, minta salin teks dan siapkan pesan untuk rekan kerja. Menghemat banyak waktu."
Semakin santai, ia memanggil rekan lebih muda, Jamie Sargent (31), dan kemudian memperkenalkan saya ke Dawud Hamzah (37). "Lebih baik bicara dengan mereka," katanya. "Mereka lebih sering pakai."
Ia benar. Dalam sekejap, jelas bahwa bagi Hamzah dan Sargent, ChatGPT adalah bagian dari keseharian. Bukan ancaman.
Pengguna Andal
Bagi Hamzah—bartender di Betts sekaligus pembicara motivasi pemuda yang mendirikan asosiasi pemberdayaan H.Y.P.E (Helping You Produce Excellence)—ChatGPT sudah menggantikan Google.
"Saya pakai untuk buat presentasi PowerPoint rapi buat acara bicara dengan murid," katanya. Tapi kegunaannya jauh lebih luas. Ia jadi trip planner, penasihat kesehatan, dan pelatih pribadi.
"Baru dipakai untuk ulang tahun pacar," ceritanya. "Saya bilang, ‘Saya mau sesuatu santai dengan makanan vegan.’ Langsung dikasih itinerary lengkap, bagus banget." Saat sakit punggung kambuh, ia minta saran pada chatbot. "Saya minta latihan dan gerakan spesifik untuk meredakan tekanan di tulang belakang. Dan berhasil."
Apakah efektif? "Jelas!"
Sargent, mantan guru pendidikan khusus, telah memakai ChatGPT sejak peluncurannya akhir 2022. Ia pakai untuk membuat lesson plan dasar, menghemat waktu sehingga bisa fokus menyesuaikan materi untuk tiap murid.
"Menghemat sekitar satu jam," katanya. Saat saya tanya apakah ini curang, ia menjawab, "Enggak, karena saya akan lakukan hal yang sama. Cuma AI lebih cepat." Ia menganggap larangan guru memakai AI tidak masuk akal. "Kami sudah kerja terlalu banyak di luar kelas. Kalau bisa lebih efisien, kenapa tidak?"
Seperti Hamzah, Sargent juga memanfaatkan AI untuk merencanakan liburan rumit. "Saya dan saudara rencanakan trip ke Italia, dari Milan ke Florence ke Naples. AI kasih peta kereta, rekomendasi restoran, bahkan estimasi biaya."
Keduanya punya pandangan pragmatis tentang masa depan AI. Mereka yakin banyak pekerjaan akan hilang, tapi tanggung jawab adaptasi ada pada individu. "Kalau tidak belajar dan berubah, ya gagal. AI tidak akan berhenti," tegas Hamzah. Sargent setuju, menekankan pentingnya nilai manusiawi. "AI bukan bagian dari pengalaman. Carilah cara membedakan diri dan tetap relevan."
Para Pengguna Baru yang Hati-Hati
Kevin, yang pertama kali mengenalkan saya pada grup ini, mewakili generasi berbeda dalam memakai AI. Ia mulai karena terdesak. "Saya buru-buru harus kirim menu ke percetakan," kenangnya. AI menyelesaikan masalah dalam hitungan detik.
Interaksi singkat itu mengubahnya dari bukan pengguna jadi penasaran. "Sekarang saya lebih terbuka. Kalau ada masalah, langsung tanya AI."
Ia juga menyesal melewatkan tren Bitcoin, dan kini bertanya-tanya apakah AI bisa membantu orang kecil dalam investasi. "Generasi saya lihat orang Wall Street kaya, sementara kami terimpit. Bagaimana caranya agar tidak selalu jadi yang kecil?"
Manajer mereka, Curtis Helser (56), diperkenalkan ChatGPT oleh istrinya setahun lalu. Ia memakainya untuk memoles email kerja, membuatnya lebih ringkas dan profesional. Tidak takut, ia melihat AI seperti mobil—bisa dipakai baik atau buruk. Pekerjaannya juga takkan tergantikan. "Harus tetap di sini," katanya sambil tertawa. "Senyum, jabat tangan, itu tidak bisa diganti AI."
Saya terkejut. Di restoran ini, AI bukan musuh menyeramkan, melainkan asisten yang berguna—meski tak sempurna. Generasi muda mengadopsinya sepenuhnya, sementara yang lebih tua tetap terbuka dengan langkah sendiri. Mereka menganggap kepanikan saat ini seperti film lama, mengingatkan ketakutan saat komputer pribadi pertama muncul.
Berbeda sekali dengan rekan-rekan di konvensi jurnalistik. Mungkin mereka yang pekerjaannya berkutat pada informasi melihat AI sebagai ancaman eksistensial, sementara yang melayani orang melihatnya sekadar alat. Revolusi AI sejati ternyata tidak terjadi di headline atau ruang konvensi yang panik, tapi dalam percakapan sederhana seperti ini—satu masalah praktis demi satu masalah.