Duta Besar Prancis untuk Israel Frédéric Journès: "Tak Boleh Ada Hamas dalam Pemerintahan"
“Yang paling mengesankan bagi saya,” jelas Frédéric Journès, “adalah pergerakan banyak negara Muslim dan Arab—kini dengan tegas menyatakan: Tak boleh ada Hamas dalam pemerintahan.”
Setelah menerima kritik tajam dari pejabat Israel terkait keputusan Presiden Prancis Emmanuel Macron untuk mengakui negara Palestina, Duta Besar Prancis untuk Israel Frédéric Journès mengatakan kepada The Jerusalem Post bahwa langkah ini bukan bentuk pembiaran terhadap teror, melainkan sebaliknya.
“Kami tidak mendukung Hamas. Kami menyuarakan dengan jelas: kami ingin mereka disingkirkan dari pemerintahan, dilucuti, dan tidak memiliki peran apa pun dalam negara Palestina di masa depan,” ujar sang duta besar. Ia menambahkan, “Saya sungguh percaya perang ini tidak akan berakhir dengan hasil positif dari apa yang mereka lakukan pada 7 Oktober.”
Ketika ditanggapi pernyataan pejabat Hamas yang menyebut pengakuan ini sebagai hasil pembantaian 7 Oktober, Journès tegas. Menurutnya, “Ketika Hamas memuji suatu kemajuan, biasanya artinya kebalikannya. Kami tahu mereka selalu benci solusi dua-negara karena mereka tidak menginginkan dua negara; mereka ingin menghapus Israel dari peta. Mereka hanya berusaha menggagalkan upaya kami.”
Perubahan Signifikan di Negara-Negara Arab dan Muslim
Menurut Journès, salah satu perkembangan terpenting belakangan ini adalah perubahan dinamika regional.
“Yang paling mengesankan,” paparnya, “adalah pergerakan banyak negara Muslim dan Arab—yang dulu kerap kritis terhadap Israel—kini dengan tegas menyatakan: tak boleh ada Hamas dalam pemerintahan, dan mereka bersedia terlibat dalam upaya stabilisasi Gaza.”
Ia merujuk pada inisiatif Prancis-Arab Saudi di PBB yang menurutnya kurang mendapat sorotan media Israel.
“Yang kami capai adalah pergeseran diplomatik besar—negara-negara Arab kini mengatakan normalisasi dengan Israel mungkin, tapi harus disertai penghapusan Hamas dari kekuasaan.”
Journès menekankan deklarasi di akhir pertemuan tingkat tinggi PBB tentang solusi dua-negara, di mana negara-negara Arab mendukung pernyataan yang mengutuk serangan 7 Oktober sebagai terorisme dan mendorong pengakuan terhadap Israel.
“Kami yakin masa depan harus melibatkan normalisasi dengan Israel, yang berarti menyingkirkan Hamas, melucuti mereka, dan menghapus peran mereka dalam pemerintahan Palestina.”
Model Baru untuk Negara Palestina: Tanpa Militer dan Bertanggung Jawab
Journès menekankan pentingnya negara Palestina di masa depan yang damai, bertanggung jawab, dan akuntabel, baik kepada rakyatnya maupun Israel.
“Haruslah negara tanpa militer yang menerima eksistensi Israel, menolak ujaran kebencian, dan dipimpin oleh figur yang meninggalkan terorisme,” ujarnya. “Ini membutuhkan reformasi, pemilu bebas dengan kandidat yang lolos seleksi, penghentian kebijakan ‘bayar untuk bunuh’ (pendanaan teroris), serta mekanisme keamanan internasional di lapangan.”
Dia mencatat bahwa dukungan negara-negara Arab terhadap gagasan ini dalam konferensi terakhir “sangat berarti.”
Ia membayangkan penarikan bertahap pasukan Israel dari Gaza, didampingi penerjunan pengawas internasional dan peningkatan bantuan kemanusiaan untuk memerangi penyelundupan dan perang.
“Kami menawarkan situasi di mana Israel bisa mencapai gencatan senjata, diikuti mekanisme keamanan internasional di Gaza—termasuk pembebasan seluruh sandera, dan saya tekankan, semua sandera,” kata Journès. “Artinya, masa depan Israel tanpa perlu mengirim ratusan ribu pemudanya untuk menduduki Gaza selama puluhan tahun.”
Perang Tidak Bisa Berlangsung Selamanya
“Israel adalah tempat yang tak pernah meninggalkan pikiranmu,” ujar Journès, setelah dua tahun bertugas di sana.
Mengalami sirene roket, menghadiri pemakaman warga Israel, dan menyaksikan trauma 7 Oktober secara langsung, ia tidak berbicara sebagai pengamat yang jauh.
“Saya sudah masuk mamad [ruang aman] 119 kali sejak tiba di sini,” katanya. “Semua teman saya punya anak atau saudara yang terlibat dalam perang ini.”
Keterikatan pribadi inilah yang mendorong upaya diplomasi Prancis untuk membentuk realitas baru—menyatukan negara-negara Arab dan Muslim dengan kekuatan Barat dalam merancang “hari sesudah” di Gaza.
“Kami mencoba menawarkan alternatif selain perang tanpa akhir,” ujarnya.
Suara Journès tercekat saat berbicara tentang korban konflik.
“Momen tersedih bagi saya,” kenangnya, “adalah pemakaman Elia Toledano, yang saudaranya pernah saya terbangkan ke Paris. Ia akan berkampanye untuknya di Brussels. Saya kembali ke Israel, dan saudaranya sudah tiada.”
Kehilangan itu, bersama nasib para sandera, memicu urgensi moral yang mendalam.
“Demi Tuhan, ini sangat penting bagi bangsa Yahudi—bagi kontrak moral antara Israel dan Yahudi—untuk membawa pulang sandera, mengembalikan jenazah, agar keluarga bisa mengucapkan Kaddish, bisa duduk shiva.”
Meski hubungan Israel-Prancis sedang tegang, Journès menegaskan bahwa perbedaan pendapat bukan berarti permusuhan.
“Yang saya suka dari Israel,” katanya, “adalah kalian berdebat dengan teman sendiri. Percakapan kami tidak selalu mulus—dan itu tak masalah.”
“Ada konsekuensi jika tidak mengambil kesempatan untuk perdamaian,” ia memperingatkan. “Dan harganya sangat mahal—bagi rakyat Israel, tapi juga bagi kami.” Kita tidak boleh terlalu takut akan situasi sampai membiarkan musuh-musuh Israel memicu gelombang antisemitisme global dengan gambar-gambar perang.
Alternatifnya, menurutnya, adalah kembali ke jalur yang sebelumnya ditempuh Israel sebelum 7 Oktober — membangun masa depan yang makmur, normal, dan damai di Timur Tengah.
"Kita bisa melampaui kengerian 7 Oktober," tutupnya. "Kita tak boleh mengorbankan kesejahteraan rakyat Israel, atau masa depan anak-anak mereka, hanya karena kita terlalu takut untuk bekerja menuju perdamaian yang abadi."