Sudah Hampir Satu Dekade Sejak Kemunculan Badut yang Menakutkan
Hampir sepuluh tahun telah berlalu sejak fenomena kemunculan badut menakutkan pertama kali membuat gempar di AS, lalu menyebar ke seluruh dunia. Badut dalam konteks tertentu mungkin tidak menyeramkan, tapi badut yang muncul tiba-tiba tanpa alasan jelas ibarat adegan film horor. Faktanya, sebagian dari epidemi badut menyeramkan tahun 2016 bisa ditelusuri kembali ke Gags the Clown, film indie found-footage yang mengubah strategi pemasaran kreatif menjadi aksi viral.
Gags the Clown rilis tahun 2018, artinya film It (2017) karya Andy Muschietti lebih dulu masuk dalam percakapan pop-kultur. (Ingat pemutaran khusus "badut saja" yang diadakan Alamo Drafthouse?) Terrifier pertama rilis tahun 2016, tapi karakter Art the Clown baru benar-benar populer setelah sekuelnya tahun 2022. Meski Gags mungkin punya audiens lebih kecil, pengaruhnya bisa dilihat di arsip Green Bay Press Gazette.
Dalam artikel tertanggal 10 Agustus 2016, koran itu melaporkan bahwa foto-foto "badut berpenampilan seram dengan balon hitam" yang beredar sebenarnya bagian dari kampanye pemasaran film pendek lokal. Artikel itu merujuk ke halaman Facebook—dibuat seminggu sebelumnya oleh sutradara Adam Krause—yang mengumumkan Gags, sebuah film pendek. Krause berharap kampanye media sosialnya bisa menarik perhatian beberapa ratus orang.
Tapi, seperti kita tahu, fenomena badut menjadi salah satu berita aneh terbesar tahun 2016. Meski awalnya hanya promosi film horor, kemunculan badut itu menyentuh ketakutan tersembunyi banyak orang. Gags versi pendek memang rilis tahun 2016, tapi Krause jelas menyadari potensinya, sehingga versi panjang Gags the Clown menyusul.
Clown in a Cornfield, film horor bertema badut yang bahkan punya aktivasi khusus di San Diego Comic-Con, tayang di Shudder minggu ini. Jadi wajar kalau platform itu memperbanyak koleksi film badutnya—termasuk Gags, Hell House, LLC, dan penampilan perdana Art the Clown di All Hallows’ Eve.
Gags dan Cornfield sama-sama mengeksplorasi ide badut pembunuh, tapi Gags menyusun ceritanya lewat found footage dari berbagai sumber di Green Bay: rekaman ponsel, CCTV, kamera polisi, hingga siaran berita. Film ini mengikuti beberapa kelompok yang bereaksi terhadap fenomena badut tersebut. Ada wartawan yang awalnya kesal diberi tugas liputan konyol, tapi kemudian menemukan sudut yang bisa membawanya ke Pulitzer. Ada remaja yang iseng memakai kostum badut untuk mengerjai orang. Ada polisi yang berusaha menjaga ketertiban di tengah kekacauan. Dan ada podcaster sayap kanan yang nekat jadi vigilante melawan badut pembawa balon itu.
Gags sendiri tidak perlu bertindak banyak untuk menebar teror. Kekerasan fisik tidak semengerikan ketakutan psikologis yang ia timbulkan hanya dengan berdiam diri. Dia tidak bicara, tidak banyak bergerak, hanya muncul dan menghilang tiba-tiba—cukup untuk melumpuhkan seluruh kota. Berbeda dengan Pennywise atau Art, Gags tidak teatrikal. Dia hanya… menatap. Imajinasi penontonlah yang bekerja keras menebak niatnya.
Gags the Clown memberikan penjelasan secukupnya—mirip The Blair Witch Project, di mana penonton harus menyimak baik-baik ketika karakter tua memberi eksposisi—plus adegan body horror yang mengganggu. Akting beberapa pemain mungkin kurang memuaskan, tapi aura mengerikan si badut sangat efektif. Fakta bahwa film ini ikut memicu kemunculan badut sungguhan di dunia nyata? Itu hanya menambah rasa ngeri yang mengasyikkan.
Gags the Clown sekarang tersedia di Shudder; Clown in a Cornfield tayang di Shudder dan AMC+ mulai 8 Agustus.
Ingin info terbaru seputar Marvel, Star Wars, atau Star Trek? Cek jadwal rilis Marvel, Star Wars, Star Trek, atau DC Universe dan masa depan Doctor Who.