Halo dan selamat datang di Eye on AI. Di edisi ini…
- China luncurkan AI Action Plan sendiri.
- Meta rekrut mantan pegawai OpenAI untuk jadi Chief Scientist, bikin orang bertanya tentang status "bapak AI" LeCun.
- Bagaimana jika AI tidak mempercepat kemajuan sains?
- Para ekonom tidak setuju tentang dampak AI superintelligence.
Minggu lalu aku di Singapura di Fortune Brainstorm AI Singapore. Ini kali kedua acara ini diadakan di kota maju ini, dan aku penasaran apa yang berubah sejak tahun lalu. Ini beberapa poin penting dari konferensi:
1. AI diadopsi cepat di mana-mana
Dulu, banyak perusahaan dan negara Asia tertinggal dari AS, Eropa, dan China dalam adopsi teknologi. Tapi tidak dengan AI. Kecepatan dan ambisinya sama di seluruh dunia.2. Semua mau AI agents, tapi belum banyak yang pakai
Tahun lalu, semua menunggu AI agents. Sekarang sudah ada dari OpenAI, Google, Anthropic, dll. Tapi adopsinya masih jauh dari hype. Kenapa?AI agents lebih berisiko dibanding AI prediktif atau generatif yang cuma bikin konten. Saat ini, AI agents sering belum bisa diandalkan. Cara bikin mereka lebih handal—seperti pakai banyak agents dengan tugas spesifik atau agents yang memeriksa pekerjaan lain—juga mahal.
Menurut Vivek Luthra dari Accenture, kebanyakan perusahaan pakai AI untuk bantu pekerja manusia dalam alur kerja yang ada. Kadang AI jadi "penasihat" untuk dukung keputusan. Tapi jarang yang mengotomatisasi seluruh alur kerja.
Tapi, Luthra prediksi ini akan berubah drastis. Pada 2028, sepertiga perusahaan besar akan pakai AI agents, dan 15% alur kerja harian bisa otomatis penuh. Ini karena biaya akan turun, model AI makin handal, dan perusahaan akan temukan cara manfaatkan agents.
3. Dampak AI di pasar kerja belum jelas
Pei Ying Chua dari LinkedIn bilang, meski ada laporan lulusan susah cari kerja, data lowongan di LinkedIn belum menunjukkan bukti kuat. Tapi, jumlah lamaran untuk pekerjaan coding rata-rata meningkat.Di panel yang sama, Madhu Kurup (Indeed) dan Sun Sun Lim (Singapore Management University) tekankan perlunya karyawan kuasai skill AI (seperti cara pakai model, buat agent, pahami kelebihan/kekurangan AI) dan soft skill manusia. Saat AI ubah semua pekerjaan, soft skill seperti fleksibilitas, ketahanan, dan berpikir kritis makin penting.
4. Infrastruktur = takdir
Akses ke infrastruktur AI akan kritis, bahkan untuk negara yang tidak mau bangun model sendiri. Jalankan model (inference) butuh banyak chip AI.Tapi bangun data center butuh investasi besar di energi. Rangu Salgame (Princeton Digital Group) bilang, untuk sementara, bahan bakar fosil (terutama gas alam) akan dipakai untuk data center di Asia—berita buruk untuk iklim. Tapi dalam jangka menengah, AI data centers bisa paksa negara kembangkan energi terbarukan seperti tenaga surya dan angin lepas pantai.
5. Sovereign AI penting, tapi sulit dicapai
Semua bicara soal perlunya sovereign AI, termasuk di Asia Tenggara. Pemerintah ingin kontrol nasib sendiri di teknologi AI, tidak tergantung solusi dari AS atau China. Tapi meraih kemandirian itu sulit.Model open source yang makin canggih memberi pemerintah pilihan untuk bangun solusi, tapi tetap ada kendala besar:
- Biaya bangun data center dan tingkatkan jaringan listrik.
- Latih model AI yang paham bahasa lokal dan nuansa budaya. Kasima Tharnpipitchai (SCB 10X) bilang, "Tidak ada trik, harus kerja keras. Hanya usaha, hampir seperti brute force."
6. Embodied AI adalah keunggulan China
AS dan China mungkin seimbang di kemampuan model AI, tapi China unggul di embodied AI—AI yang ada di perangkat fisik, dari robotaxi sampai robot humanoid. Rui Ma (Tech Buzz China) bilang, China kuasai hampir seluruh rantai pasok robotika dan buat kemajuan pesat di robot murah untuk pabrik dan robot humanoid serba guna. (Salah satu robot humanoid, Terri, buat peserta konferensi terkagum-kagum!)7. Ada jalan tengah antara AS dan China
Singapura selalu cari jalan di antara dua negara adidaya. Josephine Teo, menteri digital Singapura, bilang negaranya jadi jembatan antara AS dan China. Contoh, akhir April lalu, Singapura jadi tuan rumah pertemuan peneliti keamanan AI dari AS, China, dan negara lain, yang hasilkan "Singapura Consensus"—kesepakatan bahwa sistem AI harus andal, aman, selaras nilai manusia, dan visi bersama untuk mencapainya.—
Berita AI lainnya:
- China minta kerja sama global soal tata kelola AI dan bentuk organisasi internasional.
- AS tunda pembatasan ekspor chip AI ke China demi lanjutkan negosiasi dagang.
- Meta rekrut ilmuwan baru dari OpenAI, bikin Yann LeCun (bapak AI Meta) klarifikasi perannya.
- Anthropic cari valuasi $150 miliar, meski ada risiko gugatan hak cipta yang bisa hancurkan bisnisnya.
Riset AI:
- AI bisa percepat sains atau justru perlamabat? Dua ilmuwan Princeton bilang AI mungkin bikin sains lebih lambat karena banjirnya penelitian dan kurangnya pemahaman sebab-akibat.
Kalender AI:
- 8-10 Sept: Fortune Brainstorm Tech, Utah.
- 6-10 Okt: World AI Week, Amsterdam.
- 21-22 Okt: TED AI San Francisco.
- 2-7 Des: NeurIPS, San Diego.
- 8-9 Des: Fortune Brainstorm AI San Francisco.
Pertanyaan besar:
Apa dampak AI superintelligence pada ekonomi? The Economist bahas berbagai pandangan ahli. Jika prediksi optimis benar, hampir semua nilai ekonomi akan ke pemilik modal. Tapi selama transisi, gaji pekerja yang masih kerja bisa naik, bukan turun. Pasar saham sejauh ini meremehkan kemungkinan ASI. Artikel ini layak dibaca!—
Eye on AI adalah versi online newsletter mingguan Fortune tentang bagaimana AI membentuk masa depan bisnis. Daftar gratis di sini.