Musim dingin terasa aneh karena hangat bagi separuh populasi dunia, didorong di banyak tempat oleh pembakaran bahan bakar fosil, menurut analisis data suhu dari ratusan lokasi di seluruh dunia. Kesimpulan tersebut sejalan dengan temuan yang diterbitkan oleh organisasi pemantauan iklim Uni Eropa, Copernicus: Dunia secara keseluruhan mengalami Februari paling panas sepanjang sejarah, menjadikannya bulan kesembilan berturut-turut dengan suhu paling tinggi. Lebih mengejutkan lagi, suhu laut global pada bulan Februari mencapai rekor tertinggi sepanjang masa, menurut Copernicus.
Kedua set data tersebut memberikan gambaran dunia yang secara tegas semakin hangat yang, dikombinasikan dengan pola cuaca El NiƱo alami tahun ini, membuat musim dingin tidak dikenali di beberapa tempat. Analisis pertama, yang dilakukan oleh Climate Central, sebuah kelompok penelitian independen yang berbasis di New Jersey, menemukan bahwa di beberapa kota di Amerika Utara, Eropa, dan Asia, tidak hanya musim dingin sangat hangat, tapi perubahan iklim memainkan peran yang jelas.
Climate Central melihat anomali data suhu Desember dan Januari di 678 kota di seluruh dunia dan bertanya: Seberapa penting jejak perubahan iklim untuk suhu tidak biasa ini? Dengan kata lain, para peneliti mencoba untuk mengisolasi variabilitas cuaca yang biasa dari pengaruh perubahan iklim. “Ada suhu,” kata Andrew Pershing, wakil presiden sains Climate Central, “dan kemudian ada kemampuan kita untuk benar-benar mendeteksi sinyal iklim itu dalam data.”
Beberapa kota di Midwestern Amerika Serikat menonjol karena mengalami musim dingin yang luar biasa hangat dan karena pengaruh perubahan iklim, yang disebabkan terutama oleh pembakaran batu bara, minyak, dan bahan bakar fosil lainnya yang melepaskan gas rumah kaca ke atmosfer. “Bener-bener di luar dugaan,” kata Dr. Pershing. “Tidak ada es di sebagian besar danau besar. Itu luar biasa.” Contohnya, Minneapolis hampir 5,6 derajat Celsius lebih hangat dari rata-rata antara Desember dan Februari. Jejak perubahan iklim dapat terdeteksi selama 33 hari, pada dasarnya sepertiga musim dingin.
Tehran rata-rata 4,2 derajat Celsius lebih hangat selama periode tiga bulan yang sama. Efek perubahan iklim buatan manusia dapat dideteksi selama 68 hari musim dingin. Sementara itu, Milan memiliki rata-rata suhu musim dingin sekitar 2 derajat Celsius lebih tinggi, tetapi ada sinyal perubahan iklim yang kuat selama 55 hari.
Di tempat lain, meskipun ada beberapa hari yang sangat panas, suhu rata-rata musim dingin tidak bervariasi secara signifikan dan sinyal iklim kurang mencolok. Laporan Climate Central, yang juga diterbitkan pada hari Rabu, menyimpulkan bahwa 4,8 miliar orang di seluruh dunia “mengalami setidaknya satu hari dengan suhu yang hampir tidak mungkin terjadi tanpa pengaruh polusi karbon.”
Di beberapa bagian dunia, cuaca musim dingin yang luar biasa hangat terhalangi oleh krisis lain, seperti perang. Beberapa kota di Ukraina jauh lebih hangat dari biasanya, dan di sana juga terdapat jejak perubahan iklim. Sebagai contoh, Kyiv hampir 3 derajat Celsius lebih hangat dari rata-rata musim dingin ini, dan perubahan iklim terlihat berperan selama 33 hari. Demikian pula, di beberapa kota di Iran, Irak, dan Afganistan.
Di sabuk tropis, di mana biasanya jauh lebih panas rata-rata, sinyal iklim lebih mudah dideteksi, meskipun kenaikan suhu bisa lebih kecil. Jakarta dan Kuala Lumpur misalnya hanya 1 derajat Celsius lebih hangat secara rata-rata. Namun, efek perubahan iklim dapat terdeteksi hampir sepanjang periode tiga bulan tersebut.
Bukan hanya kota-kota individu yang mencetak rekor musim dingin ini. Secara global, Februari 2024 adalah Februari terhangat sepanjang sejarah, menurut Layanan Perubahan Iklim Copernicus. Suhu rata-rata permukaan laut global pada bulan Februari adalah yang tertinggi yang pernah tercatat untuk setiap bulan, melampaui rekor sebelumnya yang ditetapkan pada Agustus 2023.