Jakarta, VIVA – Badan Aspirasi Masyarakat (BAM) DPR RI menerima audiensi tiga kelompok masyarakat dari Riau, yaitu Koperasi Mekar Sakti Jaya, Forum Masyarakat Korban Tata Kelola Hutan dan Pertanahan Riau, serta Lembaga Bantuan Hukum Cerdas Bangsa (YLBH Cerdas Bangsa).
Agendanya, BAM DPR mendengarkan keluhan mereka soal lahan yang akan dijadikan kawasan Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN). Pertemuan ini berlangsung di Gedung DPR RI, Jakarta, pada Rabu, 2 Juli 2025.
Ketua BAM DPR RI, Ahmad Heryawan, menjelaskan bahwa masyarakat yang tergabung dalam koperasi dan kelompok korban itu menolak rencana pengosongan lahan oleh negara. Mereka mengklaim sudah menempati lahan tersebut secara legal sejak 1998 dan memiliki 1.762 sertifikat hak milik (SHM).
"Mereka sudah mengelola itu sejak lama, sejak 1998 mereka sudah punya SHM. Jadi di awal reformasi, mereka sudah punya SHM. Di kawasan itu ada koperasi, rumah warga, fasilitas negara, jalan, bahkan sekolah negeri," kata Aher di Gedung DPR.
Masalah ini muncul setelah terbit Surat Keputusan (SK) Menteri Kehutanan Nomor 255 Tahun 2004 yang menunjuk kawasan itu sebagai calon TNTN. Namun, menurut Aher, SK tersebut baru bersifat penunjukan awal dan belum melalui tahapan tata batas.
"Kami menghormati niat baik pemerintah untuk membentuk Taman Nasional. Tapi di kawasan itu sudah ada hunian yang legal dengan sertifikat hak milik. Ada 1.762 SHM, koperasi, rumah warga, sekolah, bahkan instansi pemerintah," jelasnya.
Aher berharap program negara tetap berjalan, tetapi hak masyarakat tidak boleh diambil paksa. Sebab, masyarakat setempat sudah mengelola lahan secara legal.
Untuk menindaklanjuti aduan, BAM DPR akan melakukan kunjungan kerja ke Riau pada 10 Juli 2025. Mereka juga akan berkoordinasi dengan kementerian terkait, seperti Kementerian Agraria dan Kementerian Lingkungan Hidup.
Sementara itu, Wakil Ketua BAM DPR RI, Adian Napitupulu, menyoroti ketimpangan pengelolaan hutan di sekitar Tesso Nilo. Menurutnya, kawasan TNTN sebagian besar dikuasai pemegang izin HTI dan HPH.
"Perusahaan HTI dan HPH sudah menebang jutaan pohon. Jangan sampai masyarakat yang disalahkan ketika hutan gundul," kata Adian.
Ia menegaskan, penyelesaian konflik harus sesuai hukum. "Semua langkah harus berdasarkan keputusan pengadilan. Indonesia negara hukum," tegasnya.