Bank Sentral Diingatkan untuk Tetap Waspada terhadap Inflasi

Tetap update dengan info gratis

Cukup daftar ke Global Inflation myFT Digest—langsung dikirim ke email kamu.

Bank-bank sentral udah kasih peringatan soal ancaman inflasi baru. Mereka khawatir efek "luka" berat di rumah tangga gara-gara kenaikan harga pasca-pandemi.

Bank for International Settlements nemuin kalo rumah tangga di 29 negara maju & berkembang prediksi inflasi 12 bulan depan bakal sekitar 8%—jauh lebih tinggi dari rata-rata inflasi sekarang yang 2,4%.

Ini bikin ancaman kalo ekspektasi inflasi bisa "lepas" dari target resmi bank sentral. Rumah tangga & kelompok bisa bereaksi berlebihan dengan minta gaji naik & naikin harga, bikin spiral yang makin parah.

"Rumah tangga sangat terpengaruh pengalaman inflasi terakhir; soal ekspektasi inflasi, mereka udah kapok," kata Hyun Song Shin, kepala Monetary and Economic Department di BIS.

"Survei ekspektasi inflasi emang sering overestimasi inflasi nyata. Tapi kalo persepsi itu ubah jadi tindakan & perilaku, itu bakal pengaruhi ekonomi."

Bank-bank sentral di dunia udah mulai turunin suku bunga karena lonjakan harga terburuk dalam generasi ini mulai mereda. Inflasi di negara maju diperkirakan turun ke 2,2% tahun depan, jauh di bawah 7% di 2022. Di negara berkembang, inflasi bakal turun ke 4,6% dari hampir 10% waktu itu.

Tapi pejabat masih waspada karena efek jangka panjang dari kenaikan harga pasca-COVID, yang diperparah sama lonjakan harga energi setelah invasi Rusia ke Ukraina & kenaikan harga komoditas lain.

Perang dagang Donald Trump nambah ancaman baru, terutama di AS, di mana Fed nahan kebijakan tahun ini karena kenaikan tarif ke level tertinggi dalam beberapa dekade bisa dorong harga konsumen naik.

MEMBACA  UE mengeluarkan permintaan bersama pertama untuk gencatan senjata di Gaza setelah 7 Oktober

BIS—yang kasih saran ke bank-bank sentral dunia—bilang kalo lonjakan inflasi sementara sering dianggap "relatif ringan", tapi ada risiko bikin inflasi terus naik gara-gara ekspektasi yang berubah.

Laporan tahunan BIS nemuin faktor lain kayak penuaan penduduk, perubahan iklim, ketegangan geopolitik, & pasokan yang kurang elastis bisa bikin situasi ekonomi lebih tidak stabil, bikin kebijakan bank sentral lebih sulit.

"Rumah tangga mungkin kurang toleran sama kenaikan harga & penurunan upah riil setelah biaya hidup melonjak pasca-pandemi," kata Agustín Carstens, direktur BIS.

"Kalau ekspektasi inflasi mulai lepas, bank sentral harus respons cepat & tegas. Ketidakpastian soal waktu, besaran, & dampak tarif bikin ini makin rumit."

Ketua Fed Jay Powell tekankan kalo ingatan orang soal inflasi pasca-COVID bisa bikin upaya Fed untuk tekan inflasi lebih susah.

Powell bilang dulu waktu masa jabatan pertama Trump, Fed yakin tarif cuma shock sementara. Sekarang, Fed masih anggap itu "skenario dasar", tapi karena dampak inflasi global, ancaman tekanan harga dari tarif yang lebih lama harus ditangani dengan hati-hati.

Ekspektasi inflasi rumah tangga melonjak setelah Trump umumkan tarif "timbal balik" 2 April, dengan survei Univ. Michigan tentang ekspektasi inflasi jangka pendek & panjang mencapai level tertinggi sejak awal 1990-an.

Angkanya turun setelah ketegangan dagang AS-China mereda, tapi masih lebih dari dua kali target Fed 2%. Fed bilang ukuran berbasis pasar masih tunjukkan ekspektasi inflasi investor AS terkendali.

Dalam rapat terakhir awal bulan ini, Bank of England juga waspadai ekspektasi inflasi rumah tangga & bisnis yang "tinggi", ditambah kekhawatiran shock minyak dari konflik Timur Tengah.