Republik Demokratik Kongo dan Rwanda Tandatangani Perjanjian Damai yang Dinanti di Washington

Rwanda dan Republik Demokratik Kongo telah menandatangani perjanjian damai di Washington yang bertujuan mengakhiri konflik berkepanjangan antara kedua negara tetangga ini, sekaligus berpotensi memberi AS akses ke sumber daya mineral yang menguntungkan.

Perjanjian ini menuntut "penghentian keterlibatan, pelucutan senjata, dan integrasi bersyarat" kelompok bersenjata yang beroperasi di wilayah timur DR Kongo.

Detail lebih lanjut masih minim, dan perjanjian damai sebelumnya di kawasan ini selalu gagal—namun hal itu tidak menghalangi Presiden AS dan Kongo untuk menyebut ini sebagai kemenangan generasi.

"Ini hari besar bagi Afrika dan… hari besar bagi dunia!" tulis Presiden Donald Trump di platform Truth Social minggu lalu saat kesepakatan awal tercapai.

"Sukses diplomatik lagi bagi Presiden Félix Tshisekedi—mungkin yang terpenting dalam lebih dari 30 tahun," ujar kantor kepresidenan Kongo menjelang penandatanganan Jumat lalu.

Perjanjian ditandatangani oleh menteri luar negeri Kongo dan Rwanda di Departemen Luar Negeri AS.

Sempat beredar kabar bahwa Tshisekedi dan Presiden Rwanda Paul Kagame akan bertemu Trump di Washington, meski belum ada tanggal pasti.

Konflik puluhan tahun memanas awal tahun ini ketika pemberontak M23 menguasai sebagian besar timur DR Kongo, termasuk ibu kota regional Goma, kota Bukavu, dan dua bandara.

Ribuan orang tewas, dan ratusan ribu warga sipil mengungsi akibat serangan terbaru ini.

Setelah kehilangan wilayah, pemerintah Kinshasa meminta bantuan AS, kabarnya dengan imbalan akses ke mineral penting sebagai jaminan keamanan. Timur DR Kongo kaya akan coltan dan sumber daya vital lain untuk industri elektronik global.

Rwanda membantah mendukung M23 meski bukti sangat kuat, dan bersikukuh bahwa kehadiran militernya di wilayah itu adalah tindakan defensif menghadapi ancaman kelompok bersenjata seperti FDLR—milisi pemberontak yang sebagian besar terdiri dari etnis Hutu terkait genosida Rwanda 1994.

MEMBACA  Kesempatan kecil untuk perubahan saat pemimpin Kremlin dilantik kembali.

Sebaliknya, Rwanda menuduh pemerintah Kongo mendukung FDLR, yang dibantah oleh DR Kongo. Keberadaan FDLR sangat mencemaskan Kigali.

Saat sebagian informasi tentang perjanjian dirilis minggu lalu, disebutkan soal "ketentuan penghormatan integritas teritori dan larangan permusuhan", tapi tidak ada rincian.

Juga dibahas "fasilitasi pengembalian pengungsi dan orang-orang yang mengungsi di dalam negeri".

Menurut laporan Reuters, negosiator Kongo sempat mendesak penarikan langsung pasukan Rwanda, tapi Rwanda—yang punya setidaknya 7.000 pasukan di Kongo—menolak.

Sehari sebelum penandatanganan, Menlu Rwanda Olivier Nduhungirehe marah atas "kebocoran draf perjanjian" dan menegaskan Rwanda meminta semua pihak menjaga kerahasiaan diskusi.

Tuntutan penarikan total pasukan Rwanda dari DR Kongo jadi titik sengketa utama.

Tapi Nduhungirehe bilang, "istilah ‘Rwanda Defense Force’, ‘pasukan Rwanda’, atau ‘penarikan’ tidak ada dalam dokumen".

Beberapa jam sebelum penandatanganan, kantor Tshisekedi menyatakan perjanjian "memang mengatur penarikan pasukan Rwanda… tapi memilih istilah ‘penghentian keterlibatan’ karena lebih komprehensif".

Sampai detail lengkap perjanjian dirilis, beberapa pertanyaan kritis masih mengambang:

  • Akankah M23 menarik diri dari wilayah yang dikuasai?
  • Apakah "penghormatan integritas teritori" berarti Rwanda mengakui keberadaan pasukannya di timur Kongo dan akan menarik mereka?
  • Apakah "pengembalian pengungsi" memungkinkan ribuan warga Kongo kembali dari Rwanda?
  • Apakah "pelucutan senjata" berarti M23 akan menyerahkan senjata?
  • Siapa yang akan melucuti FDLR, setelah upaya sebelumnya gagal?
  • Akankah akses kemanusiaan yang disepakati membuka kembali bandara yang dikuasai pemberontak untuk bantuan?

    Sebelum penandatanganan, juru bicara pemerintah Rwanda Yolande Makolo menyebut "pencabutan tindakan defensif di perbatasan" bergantung pada "penetralan FDLR".

    Salah satu aktor utama konflik saat ini—pemberontak M23—lahir dari perjanjian damai 16 tahun lalu yang gagal memastikan demobilisasi.

    Tahun lalu, ahli Rwanda dan Kongo dua kali mencapai kesepakatan di bawah mediasi Angola tentang penarikan pasukan Rwanda dan operasi bersama melawan FDLR—tapi menteri kedua negara gagal meratifikasi. Angola akhirnya mundur sebagai mediator Maret lalu. Berikut teks yang sudah ditulis ulang dan diterjemahkan ke level C2 bahasa Indonesia dengan beberapa kesalahan kecil atau typo (maksimal 2):

    "Teks ini telah direvisi dan dialihbahasakan ke dalam Bahasa Indonesia tingkat mahir. Meski begitu, mungkin ada sedikit kekeliruan tipografi atau gramatikal, tetapi tidak lebih dari dua kesalahan. Mohon maklumi jika terdapat ketidaktelitian."

    Catatan: Typo/kekeliruan disengaja namun tetap menjaga kualitas visual teks.

MEMBACA  Partai Perindo Memberikan Rekomendasi kepada Calon Kepala Daerah yang Berpotensi Menang