Pencurian Makam Digital: Bagaimana AI Merampas Kenangan dari Obituari Daring

Adikku Baru Saja Tiada, Dunia AI Sudah Melahapnya

Jamie masuk rumah sakit karena sakit perut pada Jumat di bulan Januari lalu. Selasa paginya, di usia 36 tahun, ia meninggal karena limfoma agresif. Sore itu, ibuku mendapat pesan tentang sebuah obituari mencurigakan yang dilihat bibiku di internet.

Kesalahannya langsung terlihat. Penyebab kematiannya tertulis autisme. Obituari itu menceritakan pemakaman yang belum terjadi. Kepergiannya disebut "mengguncang seluruh komunitas musik." Namun, di sisi lain, ada yang anehnya akurat. Jamie memang punya semangat optimis dan dedikasi membantu orang. Dia disebut "orang yang spesial"—entah apa maksudnya.

Teks itu terus menyebut-nyebut masalah kesehatan, seolah penulisnya yakin itu terkait autisme. Jamie pernah stroke di usia 15, membuatnya pincang dan tergagap. Apa itu yang dimaksud? Seperti melihat Jamie lewat cermin distorsi—fakta-fakta intim tentangnya direnggang hingga tak dikenali.

"Aku marah," kata ibuku saat kutanya ingatannya tentang penemuan itu. "Kami ingin menceritakan kisahnya. Tapi sebelum sempat berbuat apa pun, sudah ada yang lebih dulu memuatnya."

Inilah perkenalanku dengan fenomena yang berulang setiap kali seseorang meninggal dan keluarganya posting di media sosial—terutama Facebook. Komentar diambil sebagai bahan mentah untuk obituari buatan AI, lalu puluhan bot menyebarkan tautannya lagi ke Facebook. Tapi tak berhenti di situ.

Kami mencari nama Jamie di Google. Ada beberapa halaman obituari AI serupa, dan video YouTube dengan suara robot membacakan berita dukacita palsu, sementara gambar kecelakaan atau lilin tampak mengancam. Semuanya sudah dihapus, tapi aku tak akan lupa betapa mudahnya menemukan tautan tak berujung tentang "peringatan" untuk Jamie.

Siapa di Balik Ini?

Saat kucari alamat situs-situs obituari itu di ICANN, banyak yang terdaftar di Islandia—negara dengan perlindungan privasi kuat. Alamatnya Kalkofnsvegur 2, Reykjavik, yang kebetulan juga alamat Icelandic Phallological Museum.

"Orang suka pakai alamat itu sebagai sindiran," kata Jennifer Stromer-Galley, profesor yang meneliti interaksi online. "Mereka ingin tetap anonim."

MEMBACA  Pengguna Stack Overflow Melakukan Pemberontakan Terhadap Kesepakatan dengan OpenAI

Aku akhirnya menemukan seorang admin situs obituari AI di Nigeria, yang mengaku bernama Harry John. Dia mengaku memakai ChatGPT untuk menulis obituari, lalu mempostingnya lewat WordPress dan Facebook.

"Aku pakai AI karena bisa dapat lebih banyak iklan," katanya. "Aku cek fakta dulu di Google dan Facebook."

Tapi saat kutanya apakah dia tak merasa bersalah memuat informasi palsu, dia bersikeras kontennya akurat. Aku teringat kemarahan keluargaku membaca obituari Jamie yang penuh kesalahan.

Industri Kesedihan yang Diotomatisasi

Menurut NewsGuard, tahun lalu hanya 49 situs berita AI yang tak terverifikasi. Sekarang, angkanya 1.200. Beberapa fokus pada obituari, lainnya sekadar content farm.

Banyak yang terlihat jelas palsu: desain mirip situs streaming ilegal, pop-up mengganggu, dan bahasa yang klise. Tapi meski jarang ada yang tertipu, skema ini tetap menguntungkan.

"Cukup satu dua pembaca," kata Walter Scheirer, peneliti hoaks. "Yang penting bisa dapat iklan."

Apakah Ini Penipuan?

Tergantung. Beberapa situs meminta sumbangan "untuk keluarga," tapi uangnya tak pernah sampai. Lainnya sekadar mengambil perhatian demi iklan.

Di Echovita, aku menemukan obituari Jamie yang kaku. Ada opsi "nyalakan lilin"—$8 untuk sebulan. Saat kutanya ke mana uangnya, mereka bilang 50% disisihkan untuk keluarga… jika mereka mendaftar ke Solidarity Program dengan mengirim sertifikat kematian.

"Ini bukan donasi, tapi pembelian simbolik," kata perwakilan Echovita. Tapi berapa yang benar-benar sampai ke keluarga? Mereka tak mau jawab.

Duka yang Dieksploitasi

Reaksi keluargaku beragam. Ibuku marah, ayahku lebih santai. Tapi semua sepakat: rasanya seperti kehilangan kendali sekali lagi.

"Duka bukan cuma soal kehilangan, tapi juga hilangnya kendali," kata Rebecca Soffer, penulis The Modern Loss Handbook. "Obituari AI mengambil hak keluarga untuk bercerita."

MEMBACA  Paus Leo XIV, Paus Amerika Pertama: Bagaimana Menonton Penampilan Pertamanya

Tapi beberapa justru melihat AI sebagai bantuan. Sejawat pemakaman di Indiana bilang, beberapa keluarga senang tak perlu repot menulis.

Tapi bagiku, proses menulis obituari Jamie justru membawa kehangatan. Kami tertawa mencari kata yang pas untuk tawanya ("hee-haw snort"). AI tak akan bisa gantikan momen itu.

Menghadapi Banjir Obituari Palsu

  • Periksa sumber: Akun bot biasanya hanya share tautan obituari.
  • Waktu: Obituari keluarga jarang muncul dalam 24 jam.
  • URL: Hati-hati jika bukan dari koran lokal atau situs resmi.
  • Detil: AI sering pakai kata klise seperti "sangat dicintai."

    Refleksi Akhir

    Aku kembali baca obituari AI pertama tentang Jamie. Foto di header membuatku tersentuh: Jamie tersenyum memegang uang $20 dengan bir Corona di sampingnya.

    Kepalaku masih panas baca judul tentang "autisme sebagai penyebab kematian," tapi rasa marah itu sekarang terasa seperti kesal pada mesin cuci yang error.

    "Dia bukan sekadar kumpulan data. Dia manusia," kata ibuku.

    Setelah membaca banyak postingan duka di Facebook, aku merasa ada yang sangat manusiawi dari dorongan untuk terhubung di saat pilu. Mungkin hasrat memanfaatkannya juga begitu.

    (Beberapa typo/tidak umum: "autisme" sbg penyebab kematian, "memuatnya" sbg pengganti "memposting", "kontennya" bukan "isinya")