Sejak lebih dari tiga dekade, Indonesia telah menghadapi masalah yang cukup serius—jerat pendapatan menengah.
Jerat pendapatan menengah mengacu pada situasi di mana negara yang berhasil keluar dari status pendapatan rendah mengalami stagnasi dan tidak dapat mencapai status pendapatan tinggi.
Situasi ini bukan hanya tentang statistik ekonomi tetapi merupakan kenyataan yang menghambat perkembangan suatu negara.
Menurut Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional Rachmat Pambudy, pertumbuhan ekonomi Indonesia telah tetap stagnan pada 5 persen dalam dua dekade terakhir.
Meskipun stabil, tingkat pertumbuhan tersebut tidak cukup untuk menarik Indonesia keluar dari jerat pendapatan menengah.
Salah satu penyebab utama dari jerat ini adalah produktivitas rendah dari angkatan kerja. Banyak pekerja Indonesia, terutama di sektor informal dan pertanian, masih berjuang dalam pekerjaan dengan upah rendah dan produktivitas minimal.
Statistik menunjukkan bahwa sektor pertanian menyerap hampir 30 persen dari angkatan kerja nasional, meskipun hanya berkontribusi sebesar 12,7 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).
Sebaliknya, sektor industri, yang seharusnya menjadi motor penggerak ekonomi, hanya menyerap sekitar 14 persen dari angkatan kerja. Kontribusi sektor tersebut terhadap PDB turun menjadi 19,7 persen pada tahun 2020.
Oleh karena itu, perubahan struktural untuk memindahkan angkatan kerja dari sektor tradisional ke sektor yang lebih produktif adalah agenda yang mendesak.
Namun, isu produktivitas ini juga terkait dengan hal lain. Kualitas sumber daya manusia negara juga perlu ditingkatkan secara signifikan.
Indeks Modal Manusia Indonesia masih berada di angka 0,54, jauh di bawah negara-negara tetangga seperti Singapura (0,88).
Ini berarti bahwa seorang anak yang lahir di Indonesia saat ini hanya memiliki peluang 54 persen untuk mencapai potensi penuh mereka dibandingkan dengan seorang anak yang lahir di negara dengan layanan pendidikan dan kesehatan terbaik.
Data ini sejalan dengan hasil Program Penilaian Internasional untuk Siswa (PISA), yang menunjukkan bahwa keterampilan siswa Indonesia dalam membaca, matematika, dan sains masih di bawah rata-rata global.
Tiga peneliti dari Fakultas Ilmu Administrasi, Universitas Brawijaya — Petrus Sepraldi Siregar, Widya Jamilah Mersi, dan Shela Hajjaria Putri — mempelajari jerat pendapatan menengah pada tahun 2021 dan menemukan bahwa berdasarkan catatan Bank Dunia, hanya 13 dari 101 negara di dunia yang berhasil keluar dari jerat tersebut. Indonesia telah berusaha untuk keluar dari jerat pendapatan menengah sejak tahun 1985.
Menurut para peneliti, salah satu alasan mengapa Indonesia belum berhasil keluar dari jerat ini adalah kurangnya optimalisasi sumber daya yang ada, misalnya, dalam hal pengembangan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).
Berdasarkan penelitian mereka, diyakini bahwa solusi untuk optimalisasi UMKM adalah peningkatan investasi dan penyuntikan modal oleh pemerintah.
Investasi dalam pendidikan
Di tengah tantangan saat ini, pelajaran berharga dapat dipetik dari pengalaman negara lain. Korea Selatan, misalnya, pernah berada dalam situasi yang sama dengan Indonesia pada tahun 1960-an. Pada saat itu, pendapatan per kapita Korea Selatan tidak jauh berbeda dengan Indonesia saat ini.
Namun, negara tersebut memilih jalur yang jelas: melakukan investasi dalam pendidikan secara masif, mendorong inovasi, dan mengembangkan industri berbasis teknologi tinggi.
Mereka tidak hanya mengandalkan pembangunan infrastruktur fisik tetapi juga modal manusia dan ekosistem inovasi mereka. Sekarang, Korea Selatan adalah salah satu negara paling maju di dunia.
Indonesia memiliki beberapa kebijakan untuk mendukung transformasi seperti itu. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2025–2045, pemerintah menargetkan transformasi struktural ekonomi melalui penguatan inovasi, ilmu pengetahuan, dan teknologi.
Ekonomi hijau dan transformasi digital adalah dua strategi kunci untuk meningkatkan daya saing di tingkat global.
Namun, kebijakan tersebut tidak akan berhasil tanpa memperhatikan aspek distribusi pembangunan yang lebih dekat.
Ketimpangan antar wilayah masih tinggi: sementara Jawa mendominasi ekonomi nasional, wilayah-wilayah timur Indonesia sering tertinggal jauh.
Jadi, apa yang bisa dilakukan? Pertama, Indonesia perlu mengembangkan sektor ekonomi kreatif dan pariwisata. Kedua sektor ini memiliki potensi besar untuk menciptakan lapangan kerja, terutama untuk generasi muda.
Mengingat kekayaan budaya dan keindahan alam Indonesia, pariwisata dapat menjadi motor penggerak pertumbuhan baru yang inklusif di negara ini selama dikelola secara berkelanjutan.
Demikian pula, ekonomi kreatif juga memiliki potensi besar sebagai ruang inovasi bagi banyak pemuda Indonesia.
Kedua, transformasi digital harus menjadi prioritas utama. Saat ini, ekonomi digital adalah salah satu sektor yang tumbuh paling cepat di negara ini.
Namun, tidak semua wilayah memiliki akses ke layanan internet berkualitas, apalagi pelatihan keterampilan digital.
Dalam hal ini, pemerintah harus lebih serius dalam membangun infrastruktur digital di daerah-daerah yang terbelakang dan menyediakan program pelatihan yang relevan dengan kebutuhan pasar global.
Ini bukan hanya tentang mengejar, tetapi menciptakan angkatan kerja yang siap bersaing di pasar internasional.
Ketiga, investasi dalam pendidikan vokasional dan pelatihan harus ditingkatkan. Sistem pendidikan negara harus berorientasi pada kebutuhan pasar tenaga kerja, bukan hanya pada penguasaan teori.
Program magang berbasis industri, kerja sama dengan sektor swasta, dan peningkatan kualitas pendidikan vokasional adalah langkah-langkah konkret yang harus diambil tanpa menunda.
Pemuda Indonesia membutuhkan lebih dari sekadar gelar akademis: mereka memerlukan keterampilan dan pengalaman yang memadai untuk mengisi berbagai posisi pekerjaan.
Namun, perbaikan dalam regulasi dan reformasi birokrasi tidak cukup. Menarik investasi asing dan domestik merupakan salah satu kunci untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.
Untuk itu, regulasi yang jelas, transparan, dan sederhana harus diterapkan. Tidak boleh ada ruang untuk tumpang tindih regulasi dan birokrasi yang lambat.
Dalam hal ini, pengalaman Vietnam dalam menarik investasi global melalui reformasi kebijakan dapat memberikan inspirasi.
Terakhir, implementasi ekonomi hijau harus menjadi bagian integral dari strategi pembangunan nasional.
Dalam mengatasi perubahan iklim, Indonesia memiliki peluang besar untuk memimpin dengan mengadopsi energi terbarukan, pengelolaan hutan yang berkelanjutan, dan pengembangan proyek ekonomi hijau.
Selain berkontribusi pada mitigasi perubahan iklim, langkah ini juga dapat membuka peluang kerja dan investasi baru.
Mengatasi jerat pendapatan menengah bukanlah tugas jangka pendek. Namun, dengan visi yang jelas, keberanian untuk mengambil langkah besar, dan kerjasama semua pihak, Indonesia memiliki seluruh potensi untuk keluar dari jerat tersebut.
Jika negara dapat mengelola sumber daya manusianya, memanfaatkan teknologi, dan melaksanakan reformasi secara konsisten, menjadi negara maju bukanlah sekadar angan-angan.
Ini adalah tugas besar bagi semua pihak demi kehidupan yang lebih baik bagi generasi mendatang.